Makalah Tentang Kehamilan Asuhan Kebidanan - ibu hamil dg hiperemesis gravidarum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kematian maternal merupakan kematian wanita sewaktu hamil melahirkan, atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh penyebab tambahan lainnya. Penyebabnya salah satunya kematian tidak langsung disebabkan oleh penyakit atau komplikasi lain yang sudah ada sebelum persalinan, misalnya Hipertensi, Diabetes Mellitus, Anemia dan lain-lain.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan khusus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Hiperemesis adalah

B. Etiologi
a. Faktor Psidisposisi
b. Faktor Organik
c. Faktor Psikologik
d. Faktor Endoksin

C. Patofisiologi
Perasaan mual akibat akdar estrogen meningkat. Mual dan muntah terus menerus dengan menyebabkan dehidrasi, hiponatremia, hipakloremia, penurunan klorida urin, selanjutnya terjadi hemokonsentrasi yang mengurangi pertusi darah ke jaringan dan menyebabkan tertimbunnya zat toksik. Pemakaian cadangan karbohidrat dan lemak menyebabkan oksidasi lemak tidak sempurna hingga terjadi ketosis. Hipoklemia akibat muntah dan ekskresi yang berlebihan selanjutnya menambah frekuensi muntah dan merusak hepar, selaput lendir esofagus dan lambung dapat robek (sindrom Mallory-Weiss) sehingga terjadi pendarahan gastrointestiral.
Bedah mayat pada wanita yang meninggal akibat Hiperemesis Gravidarium menunjukkan kelainan pada berbagai alat tubuh.
a. Hati
b. Jantung menjadi lebih kecil daripada biasa dan beratnya atrofi, ini sejalan lamanya penyakit. Kadang-kadang ditemukan perdarahan sub-endokardial
c. Otak
d. Ginjal

D. Manifestasi Klinis
Menurut berat ringannya gejala, Hiperemesis Gravidarium dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu :
a. Tingkat I
b. Tingkat II
c. Tingkat III

E. Diagnosis
Diagnosis Hiperemesis Gravidarium biasanya tak sukar, harus ditentukan adanya kehamilan muda (amenorhea) dan muntah yang terus menerus, sehingga mempengaruhi keadaan umum. Pada pemeriksaan elektrolit darah ditemukan kadar natrium dan klorida turun. Pada pemeriksaan urin kadar klorida turun dan dapat ditemukan ketan.
Namun harus dipikirkan kehamilan muda dengan penyakit pielonefritis, hepatitis, vikus ventri kuli dan tumor serebri yang dapat pula memberikan gejala muntah.

F. Penanganan
1. Pencegahan
2. Terapi obat
3. Hiperemesis Gravidarium tingkat II dan III harus dirawat inap di rumah sakit

G. Prognosis
Dengan penanganan yang baik, prognosis sangat memuaskan. Namun demikian pada tingkatan yang berat, penyaki8t ini dapat mengancam jiawa ibu dan janin.

BAB III
TINJAUAN KASUS

I. PENGKAJIAN
Tanggal :
Tempat :
Waktu :
Nama Mahasiswa :
NIM :

A. Identitas Ibu :
Penanggung Jawab :

B. Data Subyektif
a. Keluhan Utama
b. Data Kebidanan
c. Riwayat Perkawinan
d. Riwayat KB
e. Riwayat Kesehatan
f. Pola Kebiasaan Sehari-hari
g. Pengetahuan Ibu Tentang Anak
h. Pola Psikologi Spiritual
i. Pola Seksual
j. Data Polarisasi
C. Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum
2. Pemeriksaan Fisik

II. INTERPRETASI DATA

III. DIAGNOSA POTENSIAL

IV. ANTISIPASI
- Memberikan obat mual muntah, Vit B6 1 tab, antasida 1 tab
- Merujuk ibu ke rawat inap Puskesmas Tengaran

V. PERENCANAAN
- Berikan konseling tentang asupan cairan dan gizi
- Berikan konseling tentang psikologi ibu menghadapi kehamilan
- Beri pengertian dan penjelasan pada suami dan keluarga tentang kehamilan ibu
- Anjurkan pada Ibu untuk rawat inap di Puskesmas Tengaran

VI. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
* Menganjurkan pada ibu untuk makan porsi sedikit tapi sering dan diselingi makanan ringan.
Bangun tidur jangan tiba-tiba berdiri tetapi didahului minum teh hangat
Evaluasi :
Ibu bersedia untuk melakukan anjuran yang dikerjakan
* Memberikan konseling pada ibu bahwa mual dan muntah merupakan proses fisologi pada kehamilan muda dan akan hilang pada umur kehamilan 4 bulan
Evaluasi :
Ibu menyatakan mengerti akan penjelasan yang diberikan sehingga membuat dirinya menjadi lega.
* Memberikan penjelasan pada ibu bahwa setelah mual muntah berkurang dan kondisi ibu membaik dapat melakukan aktifitas lagi
Evaluasi :
Ibu mengerti dan meminta surat keterangan hamil
* Memberikan pengertian pada suami dan keluarga tentang kondisi kehamilan seorang ibu
Evaluasi :
Suami dan keluarga mengerti dan akan memberikan perhatian pada ibu
* Memberitahukan ibu akan hasil pemeriksaan fisik dan menjelaskan bahwa ibu perlu untuk dirawat.
Evaluasi :
Ibu mengerti tentang kondisinya dan bersedia untuk dirawat di Puskesmas Tengaran
Suami dan keluarga menyetujui ibu untuk dirawat.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pengkajian dalam kasus ini didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Ibu menyatakan bahwa dirinya mengalami mual muntah, nafsu makan berkurang.
2. Ibu terlihat lemas
3. Pada pola aktifitas ibu pekerja pabrik ibu cemas kalau di PHK.
4. Pola psikososial hasilnya
- Ibu cemas dengan kehamilannya
- Ibu tinggal serumah dengan keluarga suami
5. Disamping memberikan konseling juga merujuk ibu ke rawat inap Puskesmas Tengaran

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan asuhan kebidanan yang diberikan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengkajian pada asuhan kebidanan ibu hamil dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan cara anamnesa, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan umum dan fisik
2. Masalah yang timbul pada kasus ini adalah mual dan muntah jumlah sedikit sebanyak 8 kali warna jernih dan berkurangnya nafsu makan.

B. Saran
1. Petugas kesehatan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga mengenai tanda-tanda dehidrasi secara dini dan cara penanggulangan dasar.
2. Memberikan konseling kepada ibu dan keluarga mengenai pola makan (nutrisi) dan pola kebiasaan sehari-hari. Menjelaskan mengenai proses fisiologis dalam masa kehamilan muda, serta memberikan terapi psikologis apabila ibu mempunyai masalah tersendiri.

» Read More...

Makalah Tentang Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada umumnya diterima pendapat bahwa pendidikan dalam arti luas bertujuan untuk mensosialisasikan siswa ke dalam nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dasar dari masyarakatnya. Pendidikan sebagai suatu proses dalam berbagai kesempatan, jauh lebih luas daripada hasil lembaga persekolahan, mencakup interaksi kemasyarakatan di masyarakat itu sendiri.
Berkenaan dengan pendidikan politik bagi siswa sebagai bagian masyarakat pemilih pemula dalam Pilkada diharapkan dapat dijadikan proses pembelajaran untuk memahami kehidupan bernegara. Sebagaimana diketahui bahwa pilkada merupakan proses pergantian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secara sah diakui hukum, serta momentum bagi rakyat untuk secara langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan aspirasi/keinginan rakyat.
Dalam jalur pendidikan formal sebagaimana kita ketahui dan alami penanaman kesadaran politik dilakukan baik melalui kegiatan-kegiatan intra maupun ekstra kurikuler, sedangkan dalam jalur non formal dan informal proses tersebut berjalan melalui komunikasi sosial secara timbal-balik, di lingkungan keluarga, organisasi-organisasi kemasyarakatan serta forum-forum kemasyarakatan lainnya.
Kekeliruan pandangan umum tentang politik terhadap siswa dapat dipahami, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Bagi siswa kekaburan tentang pandangan politik menjadi besar karena pengalaman-pengalaman di masa lalu dalam praktek kehidupan politik yang lebih menampilkan aspek negatif sehingga menumbuhkan citra yang negatif pula. Misalnya masih adanya fenomena politik uang (money politic) atau politik praktis yang memaksakan kehendak untuk kepentingan sesaat bagi golongan politik tertentu. Hal ini berarti aspek-aspek praktis dari sistem politik yang berlaku lebih berpengaruh dalam pembentukan persepsi kesadaran siswa tentang budaya politik yang kurang benar.
Pada saat ini rata-rata usia siswa SLTA berkisar 16-18 tahun, adapun kegiatan pilkada di beberapa daerah mencakup pilkada untuk kepala daerah tingkat camat, bupati/walikota, hingga gurbernur. Dapat penulis bayangkan berapa kali siswa yang semula sebagai pemilih pemula akan mengikuti perhelatan politik di daerahnya berkenaan dengan pilkada. Jika dianalisis maka seringnya siswa terlibat dalam kegiatan berpolitik akan muncul beberapa kondisi psikologis, diantaranya (1) kejenuhan akibat kegiatan pilkada yang monoton dan siswa sekedar dianggap sebagai “anak bawang” yang belum tentu aspirasi suaranya dapat didengar oleh pemenang pilkada atau penguasa/pemda setempat. (2) pembelajaran berpolitik hanya sesaat, sehingga setelah perhelatan pilkada selesai maka selesailah sudah tugas mereka sebagai anggota masyarakat dalam berdemokrasi. Padahal pemahaman dan etika berdemokrasi sangat diperlukan sepanjang mereka sebagai warga negara dan generasi penerus bangsa untuk memajukan budaya politik yang terpuji.
Di sinilah kita melihat betapa perlunya menyosialisasikan kesadaran politik bagi siswa ke dalam nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dasar dalam kehidupan kemasyarakatan, dimana kehidupan politik merupakan salah satu seginya. Dan karena tujuan yang demikian itu adalah juga merupakan tujuan dari pendidikan, baik formal maupun informal.
Kesenjangan pendidikan semakin melebar tatkala, orientasi pendidikan itu sendiri masih berfokus pada aspek kognitif, dan siswa lebih banyak diperlakukan sebagai obyek pelengkap dalam proses pembelajaran. Apa yang mereka pelajari di kelas terkadang tidak sesuai dengan kehidupan yang mereka jalani sebagai anggota masyarakat, padahal mereka adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. (Umberto, 2002).
Memahami kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada perlu kiranya diaktualisasikan melalui pembelajaran yang melibatkan langsung diri siswa terhadap fenomena sosial yang terjadi di lingkungan anggota dan aktivitas keluarga (masyarakat)/ dengan pendekatan School-Based Democracy Education. Program ini pada intinya mendekatkan materi pembelajaran dengan obyek sesungguhnya atau pengkajian fenomena sosial secara langsung (Polma,1987). Dengan demikian siswa akan terlibat langsung dengan aktivitas masyarakat dan dirinya sebagai obyek sekaligus subyek dalam berdemokrasi.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis dalam hal ini terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada bagaimana peran sekolah terhadap fenomena siswa dalam berdemokrasi sebagai aset bangsa yang memiliki visi dam misi budaya politik yang terpuji. Adapun alasan sekolah sebagai tempat yang dapat mengembangkan pembelajaran demokrasi, dikarenakan pada umumnya lingkungan sekolah telah memiliki unsur-unsur dasar demokrasi yang dapat dikaji dan dipelajari dengan karakter individu yang beragam. Selain itu masyarakat sekolah dapat mewakili sebagai miniatur kegiatan sosial, politik dan budaya yang utuh bagi pembelajaran siswa dalam bedemokrasi.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini ditekankan pada sejauhmana tingkat aktualisasi kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula terhadap Pilkada dengan program School-Based Democracy Education. Aspek kesadaran politik siswa dan proses pembelajaran dikembangkan dengan memperhatikan beberapa indikator sebagai berikut.
1. Partisipasi siswa dalam keterlibatannya secara langsung dalam berpolitik sebagai bagian dari tuntutan sistem demokrasi
2. Siswa mengerti, meresapi, mendalami dan menghayati nilai-nilai hidup kemasyarakatan dan kenegaraan serta sistem organisasi politik yang berlaku.
3. Sistem sosial siswa sebagai remaja yang menggambarkan nilai-nilai dan norma-norma dari kelompok sebaya (peer group).
4. Implementasi dari praktek hidup kenegaraan yang sesuai dan tidak menyimpang dari nilai-nilai ideal yang siswa terima melalui pendidikan politik maupun proses sosialisasi dalam interaksi sosial.
5. Pemahaman yang memadai mengenai pendidikan berpolitik melalui program School-Based Democracy Education yang telah diterapkan.


C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada
2. Memahami karakteristik pendidikan dan budaya politik siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada.
3. Mengaktualisasikan pola berdemokrasi di sekolah dan kehidupan sehari-hari siswa dalam lingkup persekolahan dan masyarakat.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan keilmuan dan perbaikan pembelajaran demokrasi, terutama dalam memasyarakatkan budaya politik di kalangan siswa sebagai aset generasi masa depan bangsa.
1. Bagi siswa: memahami konsep-konsep dasar demokrasi dan memberikan pembelajaran yang konkret yaitu pengalaman-pengalaman nyata, sehingga siswa mampu sebagai obyek juga subyek dalam mengaktualisasikan budaya berpolitik. yang terpuji
2. Bagi guru: diharapkan guru dapat mengoptimalkan pembelajaran demokrasi sesuai dengan tujuan kompetensi yang diinginkan dan dapat memecahkan berbagai masalah materi pelajaran demokrasi yang sulit dikembangkan dengan langsung melibatkan sumber materi di lapangan serta melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran.
3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik terhadap sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran berbasis democracy education.
4. Bagi Dinas Terkait: sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan pendidikan demokrasi bagi generasi muda untuk kegiatan pilkada.

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pendidikan dan Kesadaran Politik bagi Siswa
Dalam artian umum, pendidikan politik adalah cara bagaimana suatu bangsa mentransfer budaya politiknya dari generasi yang satu ke generasi kemudian (Panggabean, 1994). Sedangkan budaya politik adalah keseluruhan nilai, keyakinan empirik, dan lambang ekspresif yang menentukan terciptanya situasi di tempat kegiatan politik terselenggara.
Pendidikan politik sebagai proses penyampaian budaya politik bangsa, mencakup cita-cita politik maupun norma-norma operasional dari sistem organisasi politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan politik perlu ditingkatkan sebagai kesadaran dalam berpolitik akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, sehingga siswa diharapkan ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan.
Pendidikan politik mengupayakan penghayatan atau pemilikan siswa terhadap nilai-nilai yang meningkat dan akan terwujud dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari dalam hidup kemasyarakatan termasuk hidup kenegaraan serta berpartisipasi dalam usaha-usaha pembangunan sesuai dengan fungsi masing-masing. Dengan kata lain pendidikan politik menginginkan agar siswa berkembang menjadi warga negara yang baik, yang menghayati nilai-nilai dasar yang luhur dari bangsanya dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya di dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Pendidikan dalam sistem yang demokratis menempatkan posisi yang sangat sentral. Secara ideal pendidikan dimaksudkan untuk mendidik warga negara tentang kebajikan dan tanggung jawab sebagai anggota civil society. Pendidikan dalam artian tersebut merupakan suatu proses yang panjang sepanjang usia seseorang untuk mengembangkan diri. Proses tersebut bukan hanya yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal seperti sekolah tetapi juga meliputi pendidikan dalam arti yang sangat luas melibatkan keluarga dan juga lingkungan sosial. Lembaga-lembaga pendidian harus mencerminkan proses untuk mendidik warga negara ke arah suatu masyarakat sipil yang kondusif bagi berlangsungnya demokrasi dan sebaliknya harus dihindarkan sejauh mungkin dari unsur-unsur yang memungkinkan tumbuhnya hambatan-hambatan demokrasi (Riza Noer Arfani,1996: 64). Namun demikian di samping dibicarakan masalah kesadaran berpolitik, maka perlu pemahaman pula apa yang dimaksud dengan pengertian budaya politik, menurut Miriam Budiardjo konsep budaya politik ini berdasarkan keyakinan, bahwa setiap politik itu didukung oleh suatu kumpulan kaedah, perasaan dan orientasi terahadap tingkah laku politik (dalam masalah Kenegaraan: 1982:17)

B. Kebudayaan Remaja/Siswa sebagai Pemilih Pemula dalam Pilkada
Siswa atau remaja pada umumnya memiliki suatu sistem sosial yang seolah-olah menggambarkan bahwa mereka mempunyai “dunia sendiri”. Dalam sistem remaja ini terdapat kebudayaan yang antara lain mempunyai nilai-nilai, norma-norma. Sikap serta bahasa tersendiri yang berbeda dari orang dewasa. Dengan demikian remaja pada umumnya mempunyai persamaan dalam pola tingkah laku, sikap dan nilai, dimana pola tingkah laku kolektif ini dapat berbeda dalam beberapa hal dengan orang dewasa (Prijono, 1987).
Nilai kebudayaan remaja antara lain adalah santai, bebas dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya atau “peer group” adalah penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan. Masa pubertas merupakan tahap permulaan perkembangan perasaan sosial. Pada masa ini timbul keinginan remaja untuk mempunyai teman akrab dan sikap bersatu dengan teman-temannya, sedangkan terhadap orang dewasa mereka menjauhkan diri. “Peer culture” ini berpengaruh sekali selama masa remaja sehingga nilai-nilai kelompok sebaya mempengaruhi kelakuan mereka. Seorang remaja membutuhkan dukungan dan konsensus dari kelompok sebayanya. Dalam hal ini setiap penyimpangan nilai dan norma kelompok akan mendapat celaan dari kelompoknya, karena hubungan antara remaja dan kelompoknya bersifat solider dan setia kawan. Pada umumnya para remaja atas kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan persamaan dalam minat, kesenangan atau faktor lain.
Berkenaan dengan kapasitas kebudayaan remaja/siswa tersebut, setidaknya dapat dijadikan gambaran penting upaya melihat peta demokrasi dan kesadaran politik kalangan remaja di lingkungan persekolahan sebagai bagian pemilih pemula dalam pilkada. Menurut Bambang, ada tiga tingkat materi yang perlu ditanamkan dalam kurikulum pendidikan berkaitan dengan sosialisasi pemilu melalui kurikulum pendidikan. Ketiga materi tersebut adalah penanaman hakikat pemilu yang benar sehingga memunculkan motif yang kuat bagi pemilih pemula untuk mengikuti pemilu, pemahaman mengenai sistem pemilu, dan pemahaman tentang posisi tawar politik. (seminar "Menggagas Partisipasi Aktif Guru dalam Peta Politik Indonesia" di Bandung 5 Februari 2004).
Pemahaman perilaku politik (Political Behavior) yaitu perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruan tingkah laku aktor poltik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah, dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Sedangkan menurut Almond dan Verba yang dimaksud budaya politik (Political Culture) merupakan suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sitem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Warga negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki (Budiyanto, 2004: 103).

C. Pendidikan Demokrasi di Lingkup Sekolah
Pendidikan Demokrasi adalah esensinya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). PKN itu sendiri bagian dari Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS). PIPS memiliki tiga tradisi seperti dikatakan oleh Barr, Barth dan Shermis (1937) dalam Somantri (2001:81) “The three social studies traditions yaitu: (a) Social Studies as Citizenship Transmission (Civic Education), (b) Social Studies as Social Science, (c) Social Studies as Reflective Inquiry”. Kaitan dengan tradisi pertama yaitu “social studies as citizenship transmission”, menunjukkan bahwa PIPS sebagai Citizenship Education atau Civic Education atau Pendidikan Kewarganegaraan (Kewarganegaraan). Kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi (CICED, 1999). Dengan kata lain bahwa pendidikan demokrasi sebagai muatannya, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kendaraannya, sedangkan PIPS sebagai jembatan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang bertujuan pendidikan. Kaitannya dengan tradisi kedua “social studies as social science” atau PIPS sebagai ilmu-ilmu sosial. Secara logika pendidikan demokrasi itu sendiri merupakan turunan dari Ilmu Politik yang berada pada rumpun ilmu-ilmu sosial. Artinya Kewarganegaraan merupakan pendidikan politik yang bertujuan pendidikan yang ditopang oleh ilmu-ilmu sosial secara interdisipliner, walaupun terjadi tarik menarik antara PIPS perlu diajarkan secara terpadu dan secara terpisah. Akhirnya muncul PIPS diajarkan di Sekolah Dasar secara Terpadu, di
Diperkuat oleh Shirley Engle pada tahun 1960 menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Decision Making: The Heart of Social Studies Instruction”. Yang secara tegas dan merefleksikan gagasan John Dewey tentang pendidikan berpikir kritis.Dengan kata lain pembelajaran demokrasi di lingkup sekolah dapat: meningkatkan kemampuan siswa menganalisis isu-isu demokrasi yang muncul di masyarakat, menambah kemampuan nalar siswa dalam pengetahuan kemasyarakatan (sicio-scientific reasoning), mengembangkan keterampilan berpikir (higher-order thinking skill), termasuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, membuat/menganalisis dan kritis, mengembangkan kesadaran peran siswa dalam proses dari perubahan demokrasi, membantu siswa mengakui kompleksnya dari membuat keputusan masalah demokrasi, menyediakan kesempatan siswa untuk menguji kemungkinan dampak demokrasi bagi kehidupan dan perubahan masyarakat.

D. School-Based Democracy Education Model
Pendidikan demokrasi yang baik adalah bagian dari pendidikan yang baik secara umum. Berkenan dengan hal tersebut disarankan Gandal dan Finn (Saripudin, 2001) perlu dikembangkan model sekolah berbasis pendidikan demokrasi. terdapat 4 (empat) alternatif bentuk dari model ini.
1. Perhatian yang cermat diberikan pada landasan dan bentuk-bentuk demokrasi
2. Adanya kurikulum yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi bagaimana ide demokrasi telah diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk kelembagaan dan praktik di berbagai belahan bumi dalam berbagai kurun waktu. Dengan demikian siswa akan mengetahui dan memahami kekuatan dan kelemahan demokrasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu.
3. Adanya kurikulum yang memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya dalam berbagai kurun waktu.
4. Tersedianya kesempatan bagi siswa untuk memahami kondisi demokrasi yang diterapkan di negara-negara di dunia, sehingga para siswa memiliki wawasan yang luas tentang aneka ragam sistem sosial demokrasi dalam berbagai konteks.
Selain dari uraian tersebut di atas agar dapat diupayakan dalam bentuk kegiatan ekstra kurikuler yang bernuansa demokrasi serta membudayakan budaya demokratis dan menjadikan sekolah sebagai budaya lingkungan yang demokratis serta perlunya keterlibatan/penglibatan siswa dalam kegiatan masyarakat. Sanusi (Saripudin.U., 2001) juga mengemukakan perlu dikembangkannya pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional yang memungkinkan para siswa dapat mengembangkan dan menggunakan seluruh potensinya sebagai individu dan warga negara dalam masyarakat bangsa-bangsa yang demokratis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah materi Pendidikan kewarganegaraan dalam paradigma barunya yaitu mengebangkan pendidikan demokrasi mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan warganegara (civics intelligence), membina tanggung jawab warganegara (civics responbility) dan mendorong partisipasi warganegara (civic participation). Kecerdasan warganegara yang dikembangkan untuk membentuk warganegara yang baik bukan hanya dalam dimensi rasional melainkan juga dalam dimensi spiritual, emosional dan sosial sehingga paradigma baru pendidikan kewaganegaraan bercirikan multidimensional.

E. Karakteristik Tata Aturan Pilkada Daerah Penelitian
Pilkada, meskipun di dalam undang-undang 32 tahun 2004 yang terdapat dalam pasal 56-119 tidak memberikan definisi yang tegas tentang pilkada, tetapi menurut hemat penulis definisi pilkada dapat kita definisikan, bahwa pilkada adalah singkatan dari pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur dan Wakilnya di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota dan Wakilnya ditingkat kab/kota), pilkada dapat juga diartikan sebagai proses pergantian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secarah sah diakui hukum, serta momentum bagi rakyat untuk secara langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan aspirasi/keinginan rakyat. Dalam hal ini pilkada, meskipun salah satu produk negara yang berlandaskan hukum (Recht Staat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat) namun bukan berarti pilkada merupakan parameter yang mutlak dalam rangka memberikan suatu penilaian apakah momentum pilkada benar-benar demokratis, disisi lain pilkada merupakan demokrasi yang prosedural dan belum menyentuh asas demokrasi yang substansial, yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan lain sebagainya.
Keterlibatan masyarakat dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan. Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu. Format demokrasi pada aras lokal (pilkada) meniscayakan adanya kadar dan derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila demokrasi yang totalitas bermetamorfosis menjadi kongkrit dan nyata, atau semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar dan kualitas demokrasi tersebut.
Pentingnya pendidikan demokrasi memungkinkan setiap warga negara dapat belajar demokrasi melalui praktek kehidupan yang demokratis, dan untuk membangun tatanan dan praksis kehidupan demokrasi yang lebih baik di masa mendatang (Saripudin, 2001). Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah sejak tahun 1945 mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan dimaksudkan untuk mencari bentuk yang dapat mencerminkan aspirasi masyarakat dan hingga sejak reformasi lahirlah UUNo. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tidak lama kemudian disempurnakan lagi oleh UU No. 3 Tahun 2004. Dari dua perubahan terakhir mengalami perubahan yang cukup mendasar dibandingkan dengan peraturan perundangan pemerintahan daerah sebelumnya. Mencermati berbagai perubahan dan penyempurnaan perundang-undangan pemerintahan yang pernah terjadi, jika belum sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka yang perlu dipertanyakan kemudian mungkin sistem perundang-undangan ataukah memang munkin dari tingkat kesadaran masyarakat sebagian beum memahaminya. Berikut disesebutkan “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil” Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudaian diatur pendukung peraturan perundangan lain seperti Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 & Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional merupakan pembatasan pengertian tentang hal-hal yang perlu diamati. Sedangkan pengertian konsep itu sendiri adalah suatu pemikiran umum mengenai suatu masalah atau persoalan (Koentjaraningrat, 1980). Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan pembatasan terhadap variabel-variabel penelitian untuk menentukan indikator-indikator yang akan diteliti.
Dengan demikian definisi konsepsional pada Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada adalah suatu sikap yang ditentukan adanya kepedulian terhadap budaya berpolitik yang baik dengan mengikutsertakan secara aktif dalam memaknai pembelajaran berpolitik dan memanfaatkannya dengan sikap pengendalian diri melalui pengembangan pengalaman yang didapatkannya untuk bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Definisi Operasional
Menurut Koentjaraningrat (1980), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberikan pengertian tentang cara mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku gejala yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain.
Dengan demikian variabel dalam penelitian ini mencakup kesadaran politik dan pemaham siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada. Sedangkan instrumen dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku yang saling peduli, yaitu: Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan.
2. Partisipasi aktif, yaitu: perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh, yaitu: sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai.
4. Akses dan kontrol sosial, yaitu: pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman, yaitu: pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya.

C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SLTA di daerah penelitian Bandung dan Bekasi (Jawa Barat) serta Pamulang (Tangerang-Banten), dengan mengambil sampel tiap daerah 3 sekolah. Pengambilan sampel dilakukan melalui rancangan sampling menurut katagori sampel acak sederhana. Jumlah siswa yang terkait dengan penelitian sebanyak 75 siswa, dimana mereka telah mengikuti kegiatan pilkada pada masa pemilihan/pencoblosan sebagai pemilih pemula dalam pilkada di daerahnya masing-masing. Untuk guru sebagai sampel sebanyak 27 orang dari 3 daerah ujicoba. Data kuesioner dari siswa yang dapat diidentifikasi dengan baik sebanyak 48 responden. Sedangkan alasan pengambilan daerah penelitian yaitu Banten dan Jawa Barat dikarenakan daerah tersebut telah menyelenggarakan pilkada dengan karakteristik sebagai daerah kompleksitas pemilih pemula yang potensial.

D. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data sebagai bahan dalam penelitian ini, akan dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain:
a. Library Research, yaitu suatu penelitian dengan cara mempelajari dan mengumpulkan berbagai bahan bacaan atau literatur, dokumen serta media massa yang ada hubungannya dengan penulisan penelitian.
b. Field Work Research, yaitu mengumpulkan data dari penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan. Untuk mempermudah penelitian di lapangan, perlu ditentukan teknik pengumpulan data agar yang dihimpun dapat efektif dan efisien. Teknik yang dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:

1. Interview
Menurut Hadi (1990) berpendapat bahwa: interview adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara sepihak, yang dikerjakan dengan sistematis, logis, metodologis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Adapun bentuk wawancara yang dipergunakan dalam penelitian berpedoman pada kuesioner yang berstruktur atau tertutup yang memuat pertanyaan secara cermat dan terperinci dengan pilihan jawaban yang telah disediakan.
2. Observasi
Menurut Winarno Surakhmat (1990) observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala yang diteliti yang dilaksanakan dalam situasi yang khusus. Observasi dalam penelitian ini adalah peneliti dengan seksama mengamati langsung terhadap obyek dan sasaran penelitian yaitu aktualisasi kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pembelajaran politk di kegiatan Pilkada.
3. Dokumentasi
Menurut Suharsimi (1993) dokumentasi adalah mencari data mengenai sesuatu hal atau variabel yang berasal dari pihak lain berupa catatan, buku, surat kabar.

E. Metode Analisis Data
Teknik analisa data yang akan digunakan dalam penelitian adalah dengan menghitung Standar Deviasi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan disampaikan data-data hasil penelitian lapangan tentang Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada; Suatu Refleksi School-Based Democracy Education, melalui nilai sikap dan perilaku yang saling peduli, partisipasi aktif, kebermanfaatan yang diperoleh, akses kontrol sosial, dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada, dan gambaran hasil kegiatan pembelajaran sosiologi di sekolah.
Indikator-indikator dijabarkan secara rinci berdasarkan konsep teori dan diukur menggunakan instrumen skala Likert dengan 5 skala pernyataan yaitu, skala 1 untuk menyatakan sangat tidak setuju, skala 2 tidak setuju, skala 3 cukup setuju, skala 4 setuju dan skala 5 sangat setuju. Adapun pernyataan-pernyataan yang dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut.
1. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli (Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada”, “memang sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan untuk ikut berpolitik”, “ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih pemula dalam Pilkada”, “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja”, “karena teman yang lain tidak ada yang jadi pemilih sehingga saya juga tidak memilih, pada saat Pilkada”, “saya dan kelompok teman bermain sedang ada kegiatan lain sehingga lebih baik tidak memilih”, “saya disuruh datang ke TPS untuk menyoblos padahal saya belum berpengalaman”, “saya berusaha mengajak teman yang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk ikut jadi pemilih pemula di Pilkada”, “program pemda/KPU tidak sesuai dengan aspirasi saya, sehingga saya malas ikut Pilkada”, “kriteria calon pilkada tidak ada yang sesuai dengan keinginan saya”, “saya melakukan pencoblosan untuk Pilkada karena saya ingin jadi warga yang baik”. Indikator nilai sikap dan perilaku yang saling peduli (Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,76.
2. Partisipasi aktif (perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “sebagai generasi muda saya dukung kegiatan politik”, “saya akan memilih salah satu calon di Pilkada dengan ikut kampanye”, “saya selalu mencari informasi di media untuk mengetahui perkembangan Pilkada”, “di setiap waktu saya suka membicarakan tentang Pilkada dengan teman lain”, “saya menyebarluaskan berita tentang Pilkada kepada orang lain”, “supaya orang lain menjadi mengerti sehingga saya suka berdiskusi dengan para guru mengenai Pilkada”. Indikator partisipasi aktif (perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,64.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh (sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya ikut memilih dalam Pilkada supaya mengerti berpolitik”, “sebagai pemilih di Pilkada tidak ada untungnya”, “tujuan saya ikut memilih Pilkada karena memang disuruh oleh guru di sekolah”, “ikut Pilkada sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah”, “saya merasa jadi warga yang baik setelah ikut pemilihan dalam Pilkada”, “belajar di sekolah tentang berpolitik sebatas teori sedangkan prakteknya saya ikut Pilkada”, “lebih baik belajar berpolitik dilakukan sesaat saja”. Indikator kebermanfaatan yang diperoleh (sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,74.
4. Akses kontrol sosial (pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya adalah bagian dari masyarakat”, “jika terdapat penyimpangan berpolitik dalam masyarakat saya cuek saja”, “saya selalu ikut-ikutan dalam kegiatan masyarakat”, “lebih baik berdiam diri, saat ada keributan mengenai Pilkada”, “saya akan berusaha mencari informasi tentang calon Pilkada yang pantas saya pilih”, “membantu kegiatan seputar Pilkada, jika diperlukan”, “sebaiknya sebagai pelajar kita wajib menyukseskan Pilkada”. Indikator akses kontrol sosial (pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat ) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,67.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada (pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya tidak berminat ikut-ikutan dalam pemilihan Pilkada”, “setelah ikut Pilkada saya tidak merasa mendapatkan pembelajaran politik”, “ikut Pilkada biasa-biasa saja”, “saya jadi bertambah paham tentang berpolitik setelah ikut Pilkada”, “saya akan ajak teman untuk ikut Pilkada karena berguna untuk masa depan”, “lebih baik belajar politik di sekolah saja seperti dalam pemilihan ketua kelas”, “saya jadi ragu apakah aspirasi saya untuk memilih dapat direalisasikan oleh pemenang Pilkada”. Indikator dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada (pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,83.

Deskripsi Responden
Responden adalah siswa SLTA yang telah melakukan kegiatan pencoblosan untuk memilih kepala daerah dalam hal ini pilkada gurbernur provinsi Banten pada tahun 2006 dan Jawa Barat pada tahun 2008. Dari 75 siswa yang dimintai pengisian kuesioner, sebanyak 48 responden dijaring dan memberikan pernyataannya secara terstruktur dengan baik, selain interview/wawancara seputar fenomena pilkada. Sementara itu untuk mendukung data, dilakukan observasi terhadap kegiatan program School-Based Democracy Education pada guru, siswa, dan kepala sekolah. Jumlah guru yang terlibat sebanyak 7 orang sedangkan siswa terbagi dalam, siswa pria sebanyak 42 orang dan siswa wanita sebanyak 33 orang.

Refleksi School-Based Democracy Education
Kegiatan ini melibatkan guru, siswa dan kepala sekolah. Indikator yang digunakan adalah mengidentifikasi mekanisme perubahan sosial budaya, seperti pembangunan masyarakat di sektor politik. Program diarahkan pada pendekatan School-Based Democracy Education, yaitu siswa ditugaskan untuk terlibat secara langsung dalam menggali konsep berpolitik di lapangan dan mendiskusikan dalam kelas. Dari hasil wawancara dengan pihak guru dan siswa dihasilkan:
1. Program School-Based Democracy Education lebih bermakna jika melibatkan siswa sebagai subyek dan obyek dalam kegiatan pilkada.
2. Beberapa temuan dilapangan seputar kasus pilkada dapat dijadikan bahan diskusi yang teridentifikasi secara menyeluruh.
3. Simulasi sangat penting dalam rangka pemahaman teknis dalam pilkada, terutama bagi siswa yang baru sebagai pemilih pemula.
4. Daya kritis siswa terhadap karakter calon kepala daerah menjadi pola pikir yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih. Sebagaian besar dari hasil wawancara ini siswa lebih mencermati pandangan visi dan misi calon kepala daerah yang banyak dipampangkan dalam bentuk poster, spanduk, dan baliho.
5. Sebagai pemilih pragmatik mencerminkan bahwa pandangan siswa terhadap fenomena tersebut terbagi kedalam kelompok pendukung dan menolak, yang intinya bahwa melalui pembelajaran politik di sekolah pemahaman mereka terhadap politik praktis menjadi konsep yaitu berpolitik bagi mereka adalah pengakuan jati diri dengan kebebasan untuk menentukan diri sendiri.
Selain itu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran demokrasi juga melibatkan pada unsur pelajaran sosiologi. Intinya pelajaran ini diterapkan dengan pendekatan pembelajaran aktif yang dikombinasikan dengan konsep lingkungan meluas atau expanding environment approach. Dengan model pembelajaran konstruktivisme tersebut didapatkan fungsi guru, siswa dan sarana belajar secara sinergi, dengan memperhatikan:
(1) keseimbangan antara kognisi, keterampilan, afektif dan keseimbangan antara deduktif dan induktif,
(2) penyajian materi menggunakan ilustrasi dan pemberian tugas secara aktif,
(3) proses pembelajaran dilakukan dengan upaya memfasilitasi tumbuhnya dinamika kelompok di dalam kelas, sehingga terwujud siswa yang mandiri dalam belajar.
Sesuai dengan karakteristik mata pelajaran sosiologi, strategi pembelajaran yang diharapkan adalah pembelajaran yang terpusat pada siswa dengan pendekatan belajar aktif, yaitu siswa menjadi pusat kegiatan belajar mengajar. Siswa dirangsang untuk bertanya dan mencari pemecahan masalah serta didorong untuk menafsirkan informasi yang diberikan oleh guru, sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat.
Peta hasil belajar rumpun pembelajaran demokrasi yang dapat dikembangkan untuk nilai-nilai demokrasi, meliputi:

Deskripsi Hasil Analisis Indikator:
1. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli.
Nilai-nilai memainkan peranan penting di dalam kehidupan masyarakat. Terjadinya hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada fakta-fakta positif, akan tetapi juga pertimbangan-pertimbangan nilai negatif (Duverger, 1982). Karena nilai-nilai mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli dibedakan dalam lima pernyataan yang terdiri dari sangat setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Dalam pernyataan “saya senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada” menunjukkan bahwa 60 persen setuju atau 29 responden dari 48 yang menyatakan sangat senang terdaftar sebagai pemilih pemula. Selanjutnya dalam pernyataan: “sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan untuk ikut berpolitik” menunjukkan bahwa 60 persen setuju atau 29 responden dari 48 yang menyatakan sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan untuk ikut berpolitik. Sedangkan 10 persen menyatakan tidak setuju.
Berikutnya dalam pernyataan: “ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih pemula dalam Pilkada” menunjukkan bahwa 48 persen setuju atau 23 responden dari 48 yang menyatakan sebaiknya ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih pemula dalam Pilkada.
Dalam pernyataan: “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” menunjukkan bahwa 73 persen tidak setuju atau 35 responden dari 48 yang menyatakan “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” dan hanya 8 persen yang setuju.
Dalam pernyataan: “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” menunjukkan bahwa 73 persen tidak setuju atau 35 responden dari 48 yang menyatakan “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” dan hanya 8 persen yang setuju.
Berikut pernyataan: “karena teman yang lain tidak ada yang jadi pemilih sehingga saya juga tidak memilih, menunjukkan bahwa 67 persen tidak setuju atau 32 responden dari 48 yang menyatakan tersebut.
Selanjutnya pernyataan: pada saat Pilkada”, “saya dan kelompok teman bermain sedang ada kegiatan lain sehingga lebih baik tidak memilih”, menunjukkan bahwa 62 persen tidak setuju atau 30 responden dari 48 yang menyatakan tersebut.
Dalam pernyataan: “saya disuruh datang ke TPS untuk menyoblos padahal saya belum berpengalaman”, menunjukkan bahwa 46 persen setuju atau 22 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Sedangkan 25 persen yang tidak setuju.
Pernyataan: “saya berusaha mengajak teman yang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk ikut jadi pemilih pemula di Pilkada”, menunjukkan bahwa 58 persen setuju atau 28 responden dari 48 yang menyatakan tersebut.
Selanjutnya pernyataan: “program pemda/KPU tidak sesuai dengan aspirasi saya, sehingga saya malas ikut Pilkada”, menunjukkan bahwa 44 persen tidak setuju atau 21 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Sedangkan yang setuju sebanyak 33 persen.
Selanjuntnya pernyataan: “kriteria calon pilkada tidak ada yang sesuai dengan keinginan saya”, menunjukkan bahwa 42 persen tidak setuju atau 20 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Namun yang setuju sebanyak 54 persen atau 26 responden, dimana pernyataan cukup setuju dan setuju seimbang.
Berikut pernyataan: “saya melakukan pencoblosan untuk Pilkada karena saya ingin jadi warga yang baik”. menunjukkan bahwa 52 persen setuju atau 25 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Namun berdasarkan data, secara umum responden menyatakan setuju.
2. Partisipasi aktif yaitu perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha
Menggambarkan data sebagai berikut: pernyataan “sebagai generasi muda saya dukung kegiatan politik”, menunjukkan 52 persen setuju atau 25 responden yang menyatakan tersebut. “saya akan memilih salah satu calon di Pilkada dengan ikut kampanye”, menunjukkan 50 persen cukup setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. “saya selalu mencari informasi di media untuk mengetahui perkembangan Pilkada”, menunjukkan 40 persen cukup setuju atau 19 responden yang menyatakan tersebut. “di setiap waktu saya suka membicarakan tentang Pilkada dengan teman lain”, menunjukkan 42 persen cukup setuju dan tidak setuju atau masing-masing 25 responden yang menyatakan tersebut. “saya menyebarluaskan berita tentang Pilkada kepada orang lain”, menunjukkan 56 persen setuju atau 27 responden yang menyatakan tersebut. “supaya orang lain menjadi mengerti sehingga saya suka berdiskusi dengan para guru mengenai Pilkada”. menunjukkan hampir seimbang yaitu 50 persen tidak setuju dan 46 persen setuju.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh yaitu sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai
Menggambarkan pernyataan: “saya ikut memilih dalam Pilkada supaya mengerti berpolitik”, menunjukkan 48 persen setuju atau 23 responden yang menyatakan tersebut. “sebagai pemilih di Pilkada tidak ada untungnya”, menunjukkan 50 persen tidak setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut dan 23 persen setuju atau 11 responden menyatakan hal yang sama. “tujuan saya ikut memilih Pilkada karena memang disuruh oleh guru di sekolah”, menunjukkan 54 persen tidak setuju atau 26 responden yang menyatakan tersebut. “ikut Pilkada sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah”, menunjukkan 44 persen setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “saya merasa jadi warga yang baik setelah ikut pemilihan dalam Pilkada”, menunjukkan 56 persen setuju atau 27 responden yang menyatakan tersebut. “belajar di sekolah tentang berpolitik sebatas teori sedangkan prakteknya saya ikut Pilkada”, menunjukkan 50 persen setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. “lebih baik belajar berpolitik dilakukan sesaat saja”. menunjukkan 50 persen tidak setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. Namun 46 responden menyatakan setuju dan cukup setuju.
4. Akses kontrol sosial yaitu pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat
Digambarkan dengan pernyataan: “saya adalah bagian dari masyarakat”, menunjukkan 70 persen setuju atau 34 responden yang menyatakan tersebut. “jika terdapat penyimpangan berpolitik dalam masyarakat saya cuek saja”, menunjukkan masing-masing seimbang yaitu 35 persen setuju dan tidak setuju atau 15 responden yang menyatakan tersebut. “saya selalu ikut-ikutan dalam kegiatan masyarakat”, menunjukkan 42 persen tidak setuju atau 20 responden yang menyatakan tersebut. “lebih baik berdiam diri, saat ada keributan mengenai Pilkada”, menunjukkan 29 persen tidak setuju atau 14 responden yang menyatakan tersebut. Namun 31 persen responden setuju. “saya akan berusaha mencari informasi tentang calon Pilkada yang pantas saya pilih”, menunjukkan 54 persen setuju atau 26 responden yang menyatakan tersebut. “membantu kegiatan seputar Pilkada, jika diperlukan”, menunjukkan 84 persen setuju dan cukup setuju atau 40 responden yang menyatakan tersebut. “sebaiknya sebagai pelajar kita wajib menyukseskan Pilkada”. menunjukkan 90 persen setuju dan cukup setuju atau 43 responden yang menyatakan tersebut.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada
Yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya, menggambarkan data pernyataan: “saya tidak berminat ikut-ikutan dalam pemilihan Pilkada”, menunjukkan 44 persen tidak setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “setelah ikut Pilkada saya tidak merasa mendapatkan pembelajaran politik”, menunjukkan 38 persen setuju atau 18 responden yang menyatakan tersebut. “ikut Pilkada biasa-biasa saja”, menunjukkan 40 persen setuju atau 19 responden yang menyatakan tersebut. “saya jadi bertambah paham tentang berpolitik setelah ikut Pilkada”, menunjukkan 44 persen setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “saya akan ajak teman untuk ikut Pilkada karena berguna untuk masa depan”, menunjukkan 40 persen setuju atau 19 responden yang menyatakan tersebut. “lebih baik belajar politik di sekolah saja seperti dalam pemilihan ketua kelas”, menunjukkan 38 persen tidak setuju atau 18 responden yang menyatakan tersebut. “saya jadi ragu apakah aspirasi saya untuk memilih dapat direalisasikan oleh pemenang Pilkada”. menunjukkan 33 persen tidak setuju atau 16 responden yang menyatakan tersebut. Namun 31 persen menyatakan setuju.

B. Pembahasan
Dalam pembahasan konsep tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada digunakan indikator yang tergambarkan dalam bentuk item-item pernyataan sikap, yaitu pilihan jawaban responden terhadap item-item pertanyaan yang ada pada kuesioner, yang merupakan pernyataan dengan katagori sangat setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Apabila responden memberikan persetujuan dengan konsisten dan betul-betul atas dasar pemahamn isi pernyataan, maka responden yang mempunyai tingkat kesadaran baik akan dengan konsisten menyetujui pernyataan-pernyataan yang bernilai skala besar. Sebaliknya, responden yang tidak mempunyai kesadaran baik akan secara konsisten menyetujui pernyataan-pernyataan yang mempunyai nilai skala kecil. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa pandangan positif dan bernilai skala besar, jika setuju dengan konsep sebagai pemilih pemula di pilkada, sebaliknya pandangan negatif dan bernilai skala kecil jika tidak setuju dengan konsep sebagai pemilih pemula dalam pilkada.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai tingkat kesadaran politik pemilih pemula dalam pilkada: sebagai refleksi School-Based Democracy Education, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada menunjukkan perbedaan yang beragam didasarkan pada pemahaman dan pengalaman belajar konsep berpolitik di tingkat persekolahan. Pada umumnya pengalaman tersebut didapat sebatas dalam pemilihan ketua OSIS atau ketua kelas dan pemilihan lainnya.
2. Dari hasil penjabaran indikator yang dikembangkan menghasilkan indikasi bahwa hampir 60 persen siswa senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ikut aktif berpolitik telah menjadi kekuatan individu siswa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Pentingnya kesadaran berpolitik bagi siswa dapat dijelaskan dengan: nilai sikap dan perilaku yang saling peduli yaitu suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan. Rata-rata pernyataan sikap siswa diatas 60 persen berpandangan positif. Sedangkan Partisipasi aktif yaitu perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha. Rata-rata pernyataan sikap siswa 56 persen mendukung. Adapun mengenai kebermanfaatan yang diperoleh yaitu sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai, rata-rata pernyataan sikap siswa 48 persen menyatakan positif. Mengenai Akses kontrol sosial yaitu pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat, rata-rata pernyataan sikap siswa 62 persen memberikan kontribusi baik, dan berdasarkan dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya, rata-rata pernyataan sikap siswa 40 persen berpengaruh terhadap pola pikirnya.
4. Faktor-faktor yang menonjol dari tingkat kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada dapat ditemukan dalam daya kritis siswa seputar pemahaman makna berpolitik di diskusi kelas, yaitu siswa bebas berekspresi, berpendapat dan menggagas permasalahan secara lugas dalam bahasa sendiri.

B. Saran
1. Perlu diberikan sosialisasi kesadaran berpolitik bagi siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada dilingkup persekolahan, pemda setempat, dan LSM terkait.
2. Perlu mengembangkan hasil penelitian dengan melakukan penelitian lanjutan yang lebih luas dan sistematis, sehingga diperoleh manfaat yang lebih optimal
3. Peran komponen sekolah, yaitu siswa, guru, dan komite sekolah terhadap pendidikan demokrasi sebagai aplikasi dari School-Based Democracy Education lebih disenergikan.
4. Pengadaan suatu Civic Learning Center yang dapat digunakan siswa untuk belajar dan berbagi pengalaman seputar budaya politik dan berdiskusi tentang makna demokrasi sehingga pemahaman mengenai berpolitik menjadi lebih proporsional dan bermakna menjadi fokus keberadaannya. Di tempat ini akan dijumpai beberapa kegiatan seperti kegitan eskul lainnya dan zone online serta melibatkan siswa pada observasi-observasi lapangan seputar masalah pilkada.


DAFTAR PUSTAKA

Arfani, Riza Noer (1996). Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Bambang (2004)."Menggagas Partisipasi Aktif Guru dalam Peta Politik Indonesia" di Bandung dalam seminar).
Budiardjo Miriam. (1982). Masalah Kenegaraan, Jakarta: PT Gramedia.
Budiyanto. (2002). Kewarganegaraan SMA Kurikulum 2004, Jakarta : Penerbit Erlangga
Hadi Sutrisno(1990). Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Koentjaraningrat (1980). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT Gramedia.
Panggabean (1994). Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa. Sinar Harapan, Jakarta.
Polma M. Margaret. (1987). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Prijono Onny (1987). Kebudayaan Remaja dan Sub-Kebudayaan Delinkuen. CSIS, Jakarta.
Rush, Michael dan Althoff, Philip (1990). Pengantar Sosiologi Politik. Rajawali Pers, Jakarta.
Saripudin U. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Disertasi). UPI: Program Pascasarjana.
Saripudin U. Dkk. (2003). Materi dan Pembelajaran PKn SD, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta
Suharsimi A. (1993). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Surakhmad, Winarno (1980) Dasar-dasar Research Pengantar Ilmiah, Bandung: CV Tarsito.
Umberto Sihombing. (2002). Menuju Pendidikan Bermakna melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: CV Multiguna.
Undang-Undang. (2005). Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan PERPU Nomor 3 Tahun 2005 Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta : Penerbit Forum Indonesia Maju (Himpunan Anggota DPR-RI 1999-2004).

» Read More...

Makalah Tentang Kepemimpinan Dalam Manajemen Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat”; “Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi Khalifah di muka Bumi”.

Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu”.[1]

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.

B. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi masalahnya sebagai berikut :

a. Hakikat pemimpin

b. Tipe-tipe kepemimpinan

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan.dalam manajemen pendidikan.



C. Tujuan Penulisan Makalah

Sesuai dengan permasalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini diarahkan untuk :

a. Untuk mengetahui hakikat pemimpin

b. Untuk mengetahui tipe-tipe kepemimpinan

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dalam manajemen pendidikan.



D. Sistematika Penulisan

Sebagai langkah akhir dalam penulisan makalah ini, maka klasifikasi sistematikan penulisannya sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Dibahas tentang tinjauan hakikat pemimpin, tipe-tipe kepemimpinan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dalam manajemen pendidikan.

Bab III : Merupakan bab terakhir dalam penulisan makalah ini yang berisikan tentang kesimpulan.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN



A. Hakikat Pemimpin

“Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.”[2]

Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengnaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, kareana apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.

B. Tipe-Tipe Kepemimpinan

Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :

1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.

2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.

3. TIpe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.

4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.

5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.

6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung.[3]

Selanjutnya menurut Kurt Lewin yang dikutif oleh Maman Ukas mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.

2. Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.

3. Laissezfaire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.[4]

Berdasarkan dari pendapat tersebut di atas, bahwa pada kenyataannya tipe kepemimpinan yang otokratis, demokratis, dan laissezfaire, banyak diterapkan oleh para pemimpinnya di dalam berbagai macama organisasi, yang salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Dengan melihat hal tersebut, maka pemimpin di bidang pendidikan diharapkan memiliki tipe kepemimpinan yang sesuai dengan harapan atau tujuan, baik itu harapan dari bawahan, atau dari atasan yang lebih tinggi, posisinya, yang pada akhirnya gaya atau tipe kepemimpinan yang dipakai oleh para pemimpin, terutama dalam bidang pendidikan benar-benar mencerminkan sebagai seorang pemimpinan yang profesional.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan

Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah, sebagai berikut :

1. Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.

2. Harapan dan perilaku atasan.

3. Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.

4. Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.

5. Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.

6. Harapan dan perilaku rekan.[5]

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.

Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :

1. Sebagai pelaksana (executive)

2. Sebagai perencana (planner)

3. Sebagai seorangahli (expert)

4. Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)

5. Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)

6. Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)

7. Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)

8. Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)

9. Merupakan lambing dari pada kelompok (symbol of the group)

10. Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)

11. Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)

12. Bertindak sebagai seorang aya (father figure)

13. Sebagai kambing hitam (scape goat).[6]

Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :

1. Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.

2. Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.

3. Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.[7]

Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.

Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN



A. KESIMPULAN

Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.

Tipe-tipe kepemimpinan pada umumnya adalah tipe kepemimpinan pribadi, Tipe kepemimpinan non pribadi, tipe kepemimpinan otoriter, tipe kepemimpinan demokratis, tipe kepemimpinan paternalistis, tipe kepemimpinan menurut bakat. Disamping tipe-tipe kepemimpinan tersebut juga ada pendapat yang mengemukakan menjadi tiga tipe antara lain : Otokratis, Demokratis, dan Laisezfaire. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pemimpin meliputi ; kepribadian (personality), harapan dan perilaku atasan, karakteristik, kebutuhan tugas, iklim dan kebijakan organisasi, dan harapan dan perilaku rekan. Yang selanjutnya bahwa factor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kesuksesan pemimpin dalam melaksanakan aktivitasnya.


Tugas pemimpin dalam kepemimpinannya meliputi ; menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok, dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai, meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.Pemimpin yang professional adalah pemimpin yang memahami akan tugas dan kewajibannya, serta dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.



B. Saran-saran

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Hendaknya para pemimpin, khususnya pemimpin dalam bidang pendidikan dalam melaksanakan aktivitasnya kepemimpinannya dalam mempengaruhi para bawahannya berdasarkan pada kriteria-kriteria kepemimpinan yang baik.

2. Dalam membuat suatu rencana atau manajemen pendidikan hendaknya para pemimpin memahami keadaan atau kemampuan yang dimiliki oleh para bawahannya, dan dalam pembagian pemberian tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

3. Pemimpin hendaknya memahami betul akan tugasnya sebagai seorang pemimpin.

4. Dalam melaksanakan akvititasnya baik pemimpin ataupun yang dipimpin menjalin suatu hubungan kerjsama yang saling mendukung untuk tercapainya tujuan organisasi atau instnasi.


DAFTAR PUSTAKA



Arief Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).
Burhanuddin, Analisis Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Malang : Bumi Aksara, 1994).
Dadang Sulaeman dan Sunaryo, Psikologi Pendidikan, (Bandung : IKIP Bandung, 1983).
I.Nyoman Bertha, Filsafat dan Teori Pendidikan, (Bandung : FIP IKIP Bandung, 1983).
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981).
Maman Suherman, Pengembangan Sarana Belajar, (Jakarta : Karunia, 1986).
Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999).
Marsetio Donosepoetro, Manajemen dalam Pengertian dan Pendidikan Berpikir, (Surabaya : 1982).
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996).
Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional, (Bandung : Angkasa, 1983).
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Konteporer, (Bandung : Alfabeta, 2005).
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.


[1] Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999) h. 253.
[2] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996) h. 88.
[3] Maman Ukas, Op. cit., h. 261-262.
[4] Ibid, h. 262-263.
[5] Nanag Fattah, Op. cit., h. 102..
[6] M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981) h. …
[7] Ibid, h. 38-39.

» Read More...

Makalah Akuntansi Manajemen dan Akuntansi Keuangan

DEFINISI AKUNTANSI MANAJEMEN DAN AKUNTANSI KEUANGAN

Akuntansi manajemen adalah disiplin ilmu yang berkenaan dengan penggunaan informasi akuntansi oleh para manajemen dan pihak-pihak internal lainnya untuk keperluan penghitungan biaya produk, perencanaan, pengendalian dan evaluasi, serta pengambilan keputusan. Adapun tujuan instruksional umum dari mata kuliah ini adalah mahasiswa diharapkan dapat mengevaluasi dan merekayasa sistem akuntansi manajemen yang cocok dengan kondisi operasi dan strategi organisasi.

Akuntansi keuangan adalah bagian dari akuntansi yang berkaitan dengan penyiapan laporan keuangan untuk pihak luar, seperti pemegang saham, kreditor, pemasok, serta pemerintah. Prinsip utama yang dipakai dalam akuntansi keuangan adalah persamaan akuntansi (Aktiva = Kewajiban + Modal). Akuntansi keuangan berhubungan dengan masalah pencatatan transaksi untuk suatu perusahaan atau organisasi dan penyusunan berbagai laporan berkala dari hasil pencatatan tersebut. Laporan ini yang disusun untuk kepentingan umum dan biasanya digunakan pemilik perusahaan untuk menilai prestasi manajer atau dipakai manajer sebagai pertanggungjawaban keuangan terhadap para pemegang saham. Hal penting dari akuntansi keuangan adalah adanya Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang merupakan aturan-aturan yang harus digunakan didalam pengukuran dan penyajian laporan keuangan untuk kepentingan eksternal. Dengan demikian, diharapkan pemakai dan penyusun laporan keuangan dapat berkomunikasi melalui laporan keuangan ini, sebab mereka menggunakan acuan yang sama yaitu SAK. SAK ini mulai diterapkan di Indonesia pada 1994, menggantikan Prinsip-prinsi Akuntansi Indonesia tahun 1984. (Wikipedia)

SEJARAH AKUNTANSI MANAJEMEN
Pada tahun 1880an, perusahaan manufaktur di Amerika mulai berkonsentrasi dalam pengembangan teknologi produksi yang berkapasitas besar. Para manajer dan insinyur pada perusahaan metal telah mengembangkan prosedur untuk menghitung relevant product cost yang disebut scientific management. Prosedur ini digunakan untuk menganalisis produktivitas dan laba suatu produk. Akan tetapi seiring berkembangnya pemikiran akuntansi maka setelah tahun 1914 prosedur tersebut mulai hilang dari praktik akuntansi perusahaan.

Setelah Perang Dunia I, terdapat peraturan akuntansi keuangan yang mempunyai dampak berkurangnya informasi akuntansi yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja bawahan dalam perusahaan besar (lost relevance). Sampai tahun 1920an, semua manajer percaya pada informasi yang berhubungan dengan proses produksi utama, transaksi dan even yang menghasilkan jumlah nominal pada laporan keuangan. Setelah tahun 1925, informasi yang digunakan oleh manajer menjadi lebih sederhana dan banyak perusahaan manufaktur di Amerika telah mengembangkan prosedur akuntansi manajemen seperti yang dikenal sekarang.

Selama kurun waktu lebih dari enam puluh tahun, akuntan akademisi berusaha untuk mengembalikan relevansi antara informasi kos akunting dengan informasi akuntansi keuangan. Usaha tersebut menggunakan model perusahaan manufaktur sederhana, sejenis dengan perusahaan tekstil abad 19, dan dalam rangka mengatasi masalah produksi, akademisi menyusun ulang informasi pelaporan kos persediaan. Meskipun demikian, model tersebut terlalu sederhana untuk menjelaskan masalah nyata yang dihadapi oleh manajer akan tetapi hal tersebut dimahfumkan dalam rangka mempermudah bagaimana informasi kos yang berasal dari laporan keuangan dapat dibuat relevan dengan pengambilan keputusan (kos manajemen).

Mulai tahun 1980an sampai sekarang, akuntansi manajemen mengalami masa perkembangan yang pesat dengan perannya sebagai pendamping akuntansi keuangan.

Johnson dan Kaplan menuliskannya dengan indah dalam “Relevance Lost: The Rise and Fall of Management Accounting”. Buku yang cukup layak baca untuk memahami tentang akuntansi manajemen.

KRISIS DALAM AKUNTANSI MANAJEMEN
Bob Eiler dan Tom Cucuzza

Selama beberapa bulan lalu, profesi akuntansi mengalami peristiwa dan perubahan besar, yang kebanyakan hanya berfokus pada kinerja dan isu akuntansi keuangan ( seperti aturan-aturan akuntansi keuangan yang kompleks, aspek etis dalam profesi dan sebagainya). Sedangkan dalam jurnal yang kami ambil berargumen bahwa krisis dalam akuntansi manajemen sama besar dengan krisis dalam akuntansi keuangan. Maka dapat disimpulkan dengan kaitannya krisis yang terjadi pada akuntansi manajemen adalah :

A. DARI FAKTOR PENGGUNANYA
Dalam akuntansi manajemen tradisional hanya berfokus pada penyediaan kepada pengguna internal seperti pabrik, divisi, atau lingkungan internal perusahaan dan tidak mengikuti perluasan ekonomi perusahaan, terutama pada bagian eksternal dari bisnis yang terdiri dari persediaan, joint venture, dan tujuan khusus perusahaan yang lain. Seiring dengan tuntutan global lebih diperhatikan focus pada kemampuan akuntansi manajemen untuk mengukur dan mengevaluasi secara internal dan eksternal bidang-bidang dalam perusahaan guna mengoptimalisasikan keputusan yang akan diambil oleh pihak eksternal. Pihak-pihak tersebut adalah :

1. Pihak internal
Pihak internal adalah pihak yang berada dalam struktur organisasi. Manajemen adalah pihak yang paling membutuhkan laporan akuntansi yang tepat dan akurat untuk mengambil keputusan yang baik dan benar. Contohnya seperti manajer yang melihat posisi keuangan perusahaan untuk memutuskan apakah akan membeli gedung untuk kantor cabang baru atau tidak.

2. Pihak eksternal
a. Investor
Investor membutuhkan informasi keuangan perusahaan untuk menentukan apakah akan menanamkan modalnya atau tidak. Jika dalam prediksi investor akan memberikan keuntungan yang baik, maka investor akan menyetorkan modal ke perusahaan, dan begitu juga sebaliknya.

b. Pemegang saham / pemilik perusahaan
Para pemilik perusahaan yang mempunyai bagian saham perusahaan membutuhkan informasi keuangan perusahaan untuk dapat mengetahui sejauh mana kemajuan atau kemunduran yang dialami perusahaan. Pemegang saham akan mendapatkan keuntungan dari dividen yang akan semakin besar jika perusahaan untung besar.

c. Pemerintah
Besarnya pajak yang harus dibayarkan perusahaan atau organisasi kepada pemerintah sebagaian besar berdasarkan atas informasi pada laporan keuangan perusahaan.

d. Kreditur
Jika perusahaan sedang terdesak dan membutuhkan dana segar perusahaan mungkin akan meminjam uang pada kreditor seperti meminjam uang di bank, berhutang barang pada supplyer / pemasok. Kreditur akan memberikan dana jika perusahaan memiliki kondisi keuangan yang baik dan tidak akan memiliki potensi yang besar untuk merugi.

e. Pihak lainnya
Sebenarnya masih banyak pihak lain dari luar perusahaan perusahaan yang mungkin saja akan menggunakan laporan / informasi akuntansi suatu organisasi seperti para karyawan, serikat pekerja, auditor akuntan publik, polisi, pelajar / mahasiswa, wartawan, dan banyak lagi lainnya.

B. DARI FAKTOR PEMBATASAN PADA MASUKAN DAN PROSES
Akuntansi manajemen tidak tergantung pada prinsip-prinsip akuntansi. SEC dan FASB menetapkan prosedur akuntansi yang harus di dikuti untuk laporan keuangan.masukan dan prosess dari akuntansi keuangan harus jelas dan terbatas. Hanya kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu yang memenuhi kualifikasi sebagai masukan dan proses, harus mengikuti metode yang di terima oleh umum. Tidak seperti akuntansi keuangan, akuntansi manajemen tidak mempunyai lembaga khusus yang mengatur format, isi, aturan dalam memilih masukan serta proses, dan penyusunan laporan keuangan. Manajer bebas memilih informasi yang apa pun yang mereka inginkan-penyediaanya dapat di benarkan atas dasar analisis biaya-mamfaat (cost-benefit analysis).

Dewasa ini pembebanan biaya secara konvensional sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke pembebanan biaya berdasarkan aktivitas/activity based costing system (ABC-system). Dalam perkembangan akuntansi manajemen banyak sekali isu kontemporer dalam teknik-teknik manajemen mulai diterapkan, seperti metode just in time (JIT), total quality management (TQM), target costing, dan orientasi pelanggan.

Penilaian kinerja manajer saat ini sudah mulai mengalami pergeseran. Jika dahulu menilai kinerja seorang manajer cukup hanya dari perspektif keuangan, tetapi sekarang untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif harus dari dua perspektif yang dikenal dengan istilah balanced scorecard. Penilaian kinerja akan dilakukan dari dua sisi, yaitu keuangan (financial) dan non financial seperti penilaian pelanggan/ customer, pertumbuhan dan pembelajaran, serta proses bisnis internal.

Balanced scorecard merupakan isu-isu terbaru dalam akuntansi manajemen. Balanced scorecard merupakan suatu sistem manajemen strategic yang menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolak ukur kinerja untuk empat perspektif yang berbeda, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.

C. JENIS INFORMASI
Tipe informasi akuntansi manajemen :
Informasi akuntansi manajemen dapat dihubungkan dengan tiga hal, yaitu obyek informasi (produk, departemen, aktivitas), alternatif yang akan dipilih, dan wewenang manajer. Oleh karena itu, informasi akuntansi manajemen dibagi menjadi tiga tipe informasi:

1. Informasi Akuntansi Penuh (Full Accounting Information).
Informasi akuntansi penuh mencakup informasi masa lalu maupun informasi masa yang akan datang. Informasi akuntansi penuh yang berisi informasi masa lalu bermanfaat untuk pelaporan informasi keuangan kepada manajemen puncak dan pihak luar perusahaan, analisis kemampuan menghasilkan laba, pemberian jawaban atas pertanyaan “berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk sesuatu”, dan penentuan harga jual dalam cost type contract.
Informasi akuntansi penuh yang berisi informasi masa yang akan datang bermanfaat untuk penyusunan program, penentuan harga jual normal, penentuan harga transfer, dan penentuan harga jual yang diatur oleh pemerintah.

2. Informasi Akuntansi Diferensial (Differential Accounting Information).
Informasi akuntansi diferensial merupakan taksiran perbedaan aktiva, pendapatan, dan/atau biaya dalam alternatif tindakan yang lain. Informasi akuntansi diferensial mempunyai dua unsur pokok, yaitu merupakan informasi masa yang akan datang dan berbeda di antara alternatif yang dihadapi oleh pengambil keputusan. Informasi akuntansi diferensial yang hanya bersangkutan dengan biaya disebut biaya diferensial (differential costs), yang hanya bersangkutan dengan pendapatan disebut pendapatan diferensial (differential revenue), dan yang bersangkutan dengan aktiva disebut aktiva diferensial (differential assets).

3. Informasi Akuntansi Pertanggungjawaban (Responbility Accounting )
Informasi akuntansi pertanggungjawaban merupakan informasi aktiva, pendapatan, dan/atau biaya yang dihubungkan dengan manajer yang bertanggungjawab atas pusat pertanggungjawaban tertentu. Informasi akuntansi pertanggungjawaban merupakan informasi yang penting dalam proses pengendalian manajemen karena informasi tersebut menenkankan hubungan antara informasi keuangan dengan manajer yang bertanggungjawab terhadap perencanaan dan pelaksanaannya. Informasi akuntansi pertanggungjawaban dengan demikian merupakan dasar untuk menganalisis kinerja manajer dan sekaligus untuk memotivasi para manajer dalam melaksanakan rencana mereka yang dituangkan dalam anggaran mereka masing-masing.

Sistem informasi akuntansi manajemen tidak terikat oleh suatu kriteria formal yang menjelaskan sifat dari masukan, proses dan keluarannya. Kriteria tersebut fleksibel dan berdasarkan pada tujuan yang hendak dicapai manajemen.
Tujuan umum sistem akuntansi manajemen:

    Menyediakan informasi yang diperlukan dalam penghitungan harga pokok jasa,produk, dan tujuan lain yang diinginkan manajemen.
    Menyediakan informasi yang dipergunakan dalam perencanaan, pengendalian, pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.
    Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan. Informasi akuntansi manajemen dapat membantu mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja. Jadi, informasi akuntansi manajemen dibutuhkan dan dipergunakan dalam semua tahapmanajemen, termasuk perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan.

Informasi Akuntansi Keuangan
Informasi akuntansi keuangan adalah informasi bertujuan umum (general purposes) yang disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). Informasi ini digunakan untuk pihak internal dan eksternal. Informasi Akuntansi Keuangan disajikan dengan asumsi bahwa informasi yang dibutuhkan investor, kreditor, calon investor dan kreditor, manajemen, pemerintah, dan sebagainya dapat mewakili kebutuhan informasi pihak lain selain investor dan kreditor. Dengan demikian dibutuhkan satu informasi seragam untuk semua pihak yang berkepentingan dengan bisnis perusahaan. Pada umumnya, Informasi Akuntansi Keuangan disusun dan dilaporkan secara periodik sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan manajemen terhadap informasi yang tepat waktu. Selain itu, Informasi Akuntansi Keuangan disajikan dengan format yang terlalu kaku sehingga kurang mampu memenuhi informasi yang dibutuhkan manajemen.
Menurut Statement of Financial Accounting (SFAC) No. 2 karakteristik kualitatif dari informasi keuangan adalah sebagai berikut :

1. Relevan maksudnya adalah kapasitas informasi yang dapat mendorong suatu keputusan apabila dimanfaatkan oleh pemakai untuk kepentingan memprediksi hasil di masa depan yang berdasarkan kejadian waktu lalu dan sekarang. Ada tiga karakteristik utama, yaitu:

    Ketepatan waktu (timeliness), yaitu informasi yang siap digunakan para pemakai sebelum kehilangan makna dan kapasitas dalam pengambilan keputusan.
    Nilai prediktif (predictive value), yaitu informasi dapat membantu pemakai dalam membuat prediksi tentang hasil akhir dari kejadian yang lalu, sekarang dan masa depan.
    Umpan balik (feedback value), yaitu kualitas informasi yang memngkinkan pemakai dapat mengkonfirmasikan ekspektasinya yang telah terjadi di masa lalu.

2. Reliable, maksudnya adalah kualitas informasi yang dijamin bebas dari kesalahan dan penyimpangan atau bias serta telah dinilai dan disajikan secara layak sesuai dengan tujuannya. Reliable mempunyai tiga karakteristik utama, yaitu:

    Dapat diperiksa (veriviability), yaitu konsensus dalam pilihan pengukuran akuntansi yang dapat dinilai melalui kemampuannya untuk meyakinkan bahwa apakah informasi yang disajikan berdasarkan metode tertentu memberikan hasil yang sama apabila diverivikasi dengan metode yang sama oleh pihak independen.
    Kejujuran penyajian (representation faithfulness), yaitu adanya kecocokan antara angka dan diskripsi akunatnsi serta sumber-sumbernya.
    Netralitas (neutrality), informasi keuangan yang netral diperuntukkan bagi kebutuhan umum para pemakai dan terlepas dari anggapan mengenai kebutuhan tertentu dan keinginan tertrentu para pemakai khusus informasi.

3. Daya Banding (comparability), informasi keuangan yang dapat dibandingkan menyajikan kesamaan dan perbedaan yang timbul dari kesamaan dasar dan perbedaan dasar dalam perusahaan dan transaksinya dan tidak semata-mata dari perbedaan perlakuan akuntansinya.
4. Konsistensi (consistency), yaitu keseragaman dalam penetapan kebijaksanaan dan prosedur akuntansi yang tidak berubah dari periode ke periode.

D. ORIENTASI WAKTU
Akuntansi keuangan lebih cenderung ke orientasi masa lalu dan dilaporkan setelah kejadian tersebut terjadi. Meskipun akuntansi manajemen juga dicatat dan dilaporkan setelah kejadian tersebut berlangsung. Hal tersebut secara kuat menegaskan penyediaan informasi. Manajemen, sebagai contoh, tidak hanya ingin tahu berapa biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi, tetapi juga ingin mengetahui biaya apa saja yang akan dikeluarkan untuk memproduksi sebuah produk. Dengan mengetahui biaya apa saja yang digunakan untuk sebuah produksi tersebut dapat membantu perencanaan pembelian bahan baku dan penetapan harga, disamping hal-hal lainnya. Orientasi masa depan ini digunakan untuk mendukung perencanaan manajerial dan pengambilan keputusan.

Dalam artikel ini banyak kritik mengatakan bahwa akuntansi manajemen telah menjadi berorientasi jangka pendek. Sebuah perusahaan membutuhkan kebenaran informasi untuk mengukur kinerja perusahaan secara efektif, oleh karena itu pada balance scorecard seharusnya tidak hanya satu laporan saja yang menjelaskan apa yang terjadi tetapi harus berdasar pada variabilitas factor kunci yang berdampak pada kinerja ekonomi perusahaan di masa yang akan datang. Dan perusahaan sering tidak melaporkan keseluruhan secara internal untuk memahami tujuan perusahaan jangka panjang. Sehingga tidak ada gambaran seluruh perusahaan, yang pada akhirnya menyebabkan krisis di akuntansi manajemen

E. TINGKAT AGREGASI
Akuntansi manajemen menyediakan ukuran dan laporan internal yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, lini produk, departemen, dan manajer. Intinya informasi yang sangat terinci di butuhkan dan disediakan. Akuntansi keuangan di lain pihak memfokuskan pada kinerja perusahaan secara keseluruhan dan memberikan sudut pandang yang lebih agregat.
Ada beberapa tahap dalam mengukur kinerja internal :

1. Melaporkan pendapatan bersih atas pembelian material di garis awal pada pelaporan manajemen dan menggunakan biaya modal untuk asset-asset. Dalam tahap ini menggunakan dasar,laporan laba rugi perusahaan terdiri dari beberapa komponen :
Pendapatan kotor
(-) biaya bahan baku (BBB)
Pendapatan setelah BBB
Penyesuaian pendapatan (kembalian ,diskon)
Pendapatan bersih setelah BBB
Biaya internal dan outsource
Margin operasi
Interest (cost of capital x asset bersih)
Laba bersih sebelum pajak
Pajak
Laba bersih setelah pajak

2. Untuk tujuan pengukuran kinerja internal,presentasi margin seharusnya di laporkan adalah laba bersih setelah pajak atas pendapatan bersih setelah BBB.

3. Laporan ukuran tambahan (operating leverage), yang mengukur perubahan persentase laba bersih antar dua periode atas perubahan persentase pendapatan bersih sehingga mencapai economies of scale yang positif.

4. Focus pada aktivitas outsource, seperti biaya teknologi informasi. Ukuran dari total biaya aktivitas outsource tidak hanya yang tercantum dalam tagihan tapi juga termasuk biayadari aktivitas internal seperti utang dagang, pengadaan barang, dan manajemen yang diperlukan untuk mendukung aktivitas outsource.
Sedangkan untuk elemen pelaporan eksternal bisa digambarkan sbb :

F. KELUASAN
Akuntansi manajemen jauh lebih luas daripada akuntansi keuangan. Akuntansi manajemen meliputi aspek-aspek ekonomi manajerial, rekayasa industry (industial reengineering), ilmu manajemen, dan juga bidang-bidang lainnya.
Keluasan pada akuntansi manajemen memiliki sifat objektivitas dan keberdayaujian yang relative tidak sepenting akuntansi keuangan, karena pada akuntansi manajemen berorientasi pada masa depan dan tidak mempengaruhi pihak luar. Keputusan yang diambil pada akmen hanya berdasarkan pada informasi taksiran (perkiraan atau amatan), tanpa melihat terlebih dahulu realitas yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, keputusan yang diambil haruslah cepat sebagai tindakan yang akan dilakukan dari hasil amatan yang diperoleh. Dengan kata lain, tindakan yang diambil berupa tindakan preventif. Yakni, mencoba menaksir apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang pada jangka pendek, meresponnya dengan harapan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

KESIMPULAN
Ada beberapa isu yang dihadapi oleh para profesi. Akuntansi manajemen membutuhkan kebenaran informasi untuk pengukuran kinerja efektif. Akuntansi manajemen harus siap untuk menyediakan manajemen dengan seluruh gambaran perusahaan. Melapor kepada pihak-pihak di dalam organisasi untuk :

-Perencanaan
-Pengarahan dan pemberian motivasi
-Pengendalian
-Evaluasi kerja
-Penekanan pada pengambilan keputusan yang memengaruhi masa depan.
-Penekanan pada data yang relevan.
-Dibutuhkan informasi yang tepat waktu.
-Yang di susun adalah laporan segmen terinci mengenai departemen, produk, pelanggan, dan pegawai.
-Tidak perlu mengikuti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
-Tidak bersifat wajib.

» Read More...

Makalah Tentang Ruang Multimedia Dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi telah menjadi pemicu terhadap upaya perubahan sistem pembelajaran di sekolah. Upaya untuk melepaskan diri dari kungkungan pembelajaran konvensional yang memaksa anak untuk mengikuti pembelajaran yang tidak menarik, dan membosankan.
Kondisi sekolah, senantiasa dituntut untuk terus-menerus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, sehingga sekolah yang tetap berkutat pada instruksional kurikulum hanya akan membuat peserta didik gagap melihat realitas yang mengepungnya.
Pemanfaatan teknologi merupakan kebutuhan mutlak dalam dunia pendidikan (persekolahan) sehingga sekolah benar-benar menjadi ruang belajar dan tempat siswa mengembangkan kemampuannya secara optimal, dan nantinya mampu berinteraksi ke tangah-tengah masyarakatnya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu untuk memiliki teknologi penunjang sehingga bisa menjadikannya sebagai media pembelajaran yang menarik, interaktif, dan mampu mengembangkan kecakapan personal secara optimal, baik kecakapan, kognitif, afektif, psikomotrik, emosional dan spiritualnya.
1.2 Identifikasi
Tidak adanya motivasi mengakibatkan munculnya kebosanan akibat pembelajaran yang saat ini terkesan monoton. Sehingga tercipta metode belajar yang lebih menarik dan efektif. Dengan adanya ruang multimedia yang digunakan sebagai fasilitas pembelajaran, diharapkan dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran.
Dengan rendahnya motivasi dan terbatasnya fasilitas dapat mengakibatkan lambannya peningkatan mutu pendidikan.
1.3 Rumusan masalah
Pembelajaran di sekolah bertujuan untuk membangun pengetahuan siswa dalam bidang studi atau keterampilan tertentu. Pengetahuan itu bisa diperoleh dengan berbagai cara, namun apapun cara yang dilakukan oleh guru atau pembimbing tidak lain hanyalah untuk “membelajarkan siswa” baik di dalam maupun di luar kelas. Guru perlu cara yang mampu menggugah motivasi siswa untuk belajar, karena guru dewasa ini bukanlah satu-satunya objek pembelajaran, namun perannya lebih besar sebagai mediator transfer ilmu. Berkaca dari realita yang ada di masyarakat umum, sebagian anak perlu diperintah untuk belajar dan lebih suka menonton televisi. Jawabannya karena motivasi. Penyajian materi yang disajikan melalui televisi lebih menarik daripada penyajian materi di dalam kelas oleh guru. Penggunaan ruang multimedia merupakan pilihan yang sangat populer saat ini sebagai wujud implementasi e-learning. Guru menggunakan fasilitas komputer/laptop dan LCD sebagai alat bantu untuk melaksanakan pembelajaran dan menyampaikan materi di kelas. Materi disusun dalam format presentasi atau menggunakan pemutaran video yang berkaitan dengan materi.
Perkembangan tehnologi informasi dan komunikasi telah memberikan pergeseran dalam pembelajaran, misalnya interaksi guru dan siswa tidak harus dilaksanakan dengan tatap muka, tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media yang tersedia dalam laboratorium multimedia. Perubahan demi perubahan, khususnya dalam bidang teknologi informasi telah mengantarkan manusia memasuki era digital.
Ruang multimedia yang dimaksudkan oleh penulis adalah ruangan yang didalamnya terdapat beberapa komputer yang cukup representatif untuk seluruh siswa dalam satu kelas dan sudah disetting dengan LAN (Lokal Area Network), LCD untuk menayangkan presentasi guru, headphone di tiap komputer untuk mendengarkan suara guru dari komputer induk (server), mikrophone dan sound sistem yang berfungsi sebagai pengeras suara sehingga dapat terdengar oleh seluruh siswa dalam kelas, sambungan internet, printer dan AC (Air Conditioning) jika memungkinkan. Untuk ini memang dibutuhkan investasi awal yang cukup besar baik dari penyediaan sarana komputer/laptop, LCD, headphone dan lain-lain, beban operasional yang semakin besar serta biaya perawatan yang juga mahal. Selain itu dibutuhkan kemauan serta kemampuan dari para tenaga pendidikan untuk melakukan renovasi pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran yang berbasis ICT (Information Cmunication Technologi) juga siswa sebagai subjek pembelajar yang mampu/terampil menggunakan sarana yang tersedia. Ruang multimedia dapat digunakan untuk semua bidang studi baik untuk menyampaikan materi melalui audio-visual (layar LCD), audio saja (headphone) yang biasanya digunakan untuk program bahasa, menyampaikan tugas/ulangan kepada siswa. Mengakses materi pelajaran melalui internet atau chating dengan siswa lain di dalam ruangan itu yang tentunya lebih menarik bagi siswa dan lebih memudahkan bagi guru untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
1.4 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat penulis ditujukan untuk :
1. Memudahkan siswa dalam menyerap dan memahami pelajaran yang disampaikan oleh pengajar.
2. Meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis ICT (Information Communication Technology)
3. Memberikan pilihan metode baru bagi pengajar dalam menyampaikan materi.


BAB II
RUANG MULTIMEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Ruang multimedia adalah suatu ruangan dimana terdapat berbagai peralatan komunikasi elektronik guna menunjang proses pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran adalah bertambahnya kualitas penyampaian materi pendidikan sehingga siswa lebih mudah dalam menangkapnya.
Standar Internasional pembelajaran berbasis ICT dapat dilaksanakan, salah satunya dengan penggunaan ruang multimedia yang tersedia di sekolah. Ruang multimedia yang dimaksudkan adalah ruangan yang di dalamnya terdapat beberapa komputer yang cukup representatif untuk seluruh siswa dalam satu kelas dan sudah disetting dengan LAN (Local Area Network), LCD untuk menayangkan presentasi guru, headphone di tiap komputer untuk mendengarkan suara guru dari komputer induk, mikrophone dan sound sistem yang berfungsi sebagai pengeras suara sehingga dapat terdengar oleh seluruh siswa dalam kelas, sambungan internet, printer, AC (Air Conditioning).
Dalam proses pembelajaran menggunakan ruang multimedia, bentuk-bentuk informasi yang dapat ditampilkan berupa kata-kata, gambar, video, musik, angka, atau tulisan tangan. Bagi komputer, bentuk informasi tersebut, semuanya diolah dari data digital. Sehingga memudahkan siswa menyerap dan mengingat materi-materi yang disampaikan dalam proses pembalajaran.
Adapun komponen yang perlu dipersiapkan untuk melaksanakan pembelajaran berbasis ICT dengan menggunakan ruang multimedia antara lain:
• Sarana elektronik (komputer/laptop, LCD, headphone dan lain-lain)
• Kemauan siswa dan guru untuk melakukan renovasi pembelajaran
• Sumber daya manusia (guru dan siswa)
• Kesiapan sekolah untuk menanggung beban operasional dan biaya perawatan.

Jenis kegiatan/tugas guru yang dapat dilaksanakan dengan menggunakan ruang multimedia antara lain:
1. Menyampaikan materi (presentasi). Salah satu bentuk tugas yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah menyampaikan materi pelajaran menggunakan media komputer/laptop dan LCD. Materi disampaikan kepada siswa dengan menayangkan materi pada layar dan siswa dapat mengikuti bersama-sama. Keterampilan yang dapat digunakan yaitu dengan mengolah materi menggunakan program MS Power Point. Kemudian dapat dikembangkan lagi menggunakan program Windows Movie Maker, Ulead VideoStudio dan lain-lain. Bahkan dengan menayangkan video yang berhubungan dengan materi juga bisa dilakukan tanpa guru.
2. Memutar lagu/musik disela-sela kegiatan belajar siswa, misalnya saat siswa mengakses materi pelajaran melalui internet.
3. Memutar video yang berkaitan dengan materi pembelajaran
4. Menampilkan gambar yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
5. Mengirim informasi/pesan dari guru (komputer server) ke siswa (komputer client).
6. Mengirim tugas/ulangan kepada siswa dan mengumpulkannya kembali melalui komputer server.
7. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses materi melalui internet.
8. Menggunakan ruang ini sebagai laboratorium bahasa karena di dalamnya terdapat headphone yang disambungkan dengan tiap computer dan bisa mendengar suara guru dari computer server.
Upaya membuat anak betah belajar disekolah dengan memanfaatkan teknologi multimedia, merupakan kebutuhan, sehingga sekolah tidak lagi menjadi ruangan yang menakutkan dengan berbagai tugas dan ancaman yang justru mengkooptasi kemampuan atau potensi dalam diri siswa. Untuk itu, peran serta masyarakat dan orangtua , komite sekolah merupakan partner yang dapat merencanakan dan memajukan sekolah.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ruang multimedia sangat berperan penting dalam peningkatan mutu pembelajaran di suatu sekolah. Dengan adanya ruangan multimedia tersebut, proses pembelajaran akan menjadi lebih praktis, inovatif, dan efektif.
3.2 Saran
Bagi siswa, guru dan pihak lain yang berkaitan dengan proses pembelajaran diharapkan mampu menerapkan dan memanfaatkan ruang multimedia sebagai metode pilihan baru dalam menyampaikan materi demi terciptanya peningkatan mutu pendidikan.

» Read More...

Popular Posts

Pengikut