BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak tahun
2002, sebuah tim yang terdiri dari para analis Indonesia dan manca negara, dibawah naungan
Program Analisa Kemiskinan di Indonesia (INDOPOV) di kantor Bank Dunia Jakarta,
telah mempelajari karakteristik kemiskinan di Indonesia. Mereka telah berusaha untuk mengidentifikasikan apa
yang bermanfaat dan tidak bermanfaat
dalam upaya
pengentasan kemiskinan, dan untuk memperjelas
pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk Pemerintah dan lembaga- lembaga
non-pemerintah dalam upaya mereka untuk memperbaiki standar dan kualitas
kehidupan masyarakat miskin
Makalah mencoba untuk menganalisa sifat multi-dimensi
dari kemiskinan di Indonesia pada saat ini melalui pandangan baru yang
didasarkan pada perubahan-perubahan penting yang terjadi di negeri ini selama
satu dekade terakhir. Sebelum ini, Bank Dunia telah menyusun Kajian-Kajian
Kemiskinan, yaitu pada tahun 1993 dan 2001, namun kajian-kajian tersebut tidak
membahas masalah kemiskinan secara mendalam. Kajian ini memaparkan kekayaaan
pengetahuan yang dimiliki oleh Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia dan penulis
berharap bahwa kajian ini akan menjadi sumbangan penting untuk menghangatkan
diskusi kebijakan yang ada dan, pada akhirnya akan membawa perubahan dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
Indonesia yang sekarang tentu saja sangat berbeda
dari Indonesia satu dekade yang lalu. Maka bukan hal yang mengejutkan apabila
strategi-strategi pengentasan kemiskinan telah berubah seiring dengan perubahan
yang telah dialami oleh Indonesia oleh karena itu dibuatlah makalah yang
berjudul “Pengentasan Kemiskinan” dan penulis sangat berharap bahwa kajian
kemiskinan ini dapat menjadi sumbangan berarti dalam menghadapi berbagai
tantangan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis
akan membahas tentang:
- Apa pengertian kemiskinan?
- Bagaimana cara mengukur kemiskinan?
- Apa saja penyebab kemiskinan?
- Bagaimana keadaan kemiskinan di Indonesia?
- Apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan?
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
pengertian kemiskinan
2.
Mengetahui
cara mengukur kemiskinan
3.
Mengetahui
penyebab kemiskinan
4.
Mengetahui
keadaan kemiskinan di Indonesia
5.
Mengetahui
apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut wikipedia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak
adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah
kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara
subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan
evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah
mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk
kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
· Gambaran kekurangan materi, yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
· Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
· Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan
kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda
melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan Kepala Badan Pusat
Statistik , Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap miskin apabila dia
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk
mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan
kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan
transportasi. "Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non
makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang
per bulan," kata Rusman Heriawan kepada BBC. Dengan definisi itu, jumlah
penduduk miskin di Indonesia tahun 2008 mencapai sekitar 35.000.000 jiwa.
Angka itu merupakan hasil survei sosial
ekonomi nasional, Susenas dengan sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal
jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 55.000.000. Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi
Surabaya, Kresnayana Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak
mencerminkan realitas.
"Ada yang tidak diperhitungkan,
perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa enam sampai tujuh batang. Itu
sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya sekian, tetapi di dalamnya
ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana Yahya.
2.2 Mengukur Kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan
dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan
tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari
populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia
(kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia
mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD
$1/hari dan Kemiskinan menengah untuk
pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001
1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang
didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara
berkembang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990
menjadi 21% pada 2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk
dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang
separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu
tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah
terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap
region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma
yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi
kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam
pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma
ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara
berkembang.
2.3 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
· penyebab individual, atau patologis, yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari
si miskin;
· penyebab keluarga, yang menghubungkan
kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
· penyebab sub-budaya
("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
· penyebab agensi, yang melihat kemiskinan
sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
· penyebab struktural, yang memberikan
alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan
dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat
(negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang
diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera
atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
2.4 Kemiskinan Di Indonesia
Pengentasan kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah yang
paling mendesak di Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari
hampir sama dengan jumlah total penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang
dari AS$2- per hari dari semua negara di kawasan Asia Timur kecuali Cina.
Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi
Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK).
Di samping turut menandatangani Tujuan Pembangunan Milenium (atau
Millennium Development Goals) untuk tahun 2015, dalam RPJM-nya pemerintah telah
menyusun tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan kemiskinan untuk tahun 2009,
termasuk target ambisius untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen
pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Walaupun angka kemiskinan nasional mendekati
kondisi sebelum krisis, hal ini tetap berarti bahwa sekitar 40 juta orang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan. Lagi
pula, walaupun Indonesia sekarang merupakan negara berpenghasilan menengah,
proporsi penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2-per hari sama
dengan negara-negara berpenghasilan rendah di kawasan ini, misalnya Vietnam.
Ada
tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah
tangga yang berada di sekitar
garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga
banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap
kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga
tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya.
Banyak orang yang mungkin tidak tergolong
(miskin dari segi pendapatan) dapat dikategorikan sebagai miskin atas
dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator
pembangunan manusia. Ketiga, mengingat
sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan
antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di
Indonesia.
- Banyak penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Angka kemiskinan nasional
sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas
garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh rakyat
2. Kemiskinan dari
segi non-pendapatan adalah masalah yang
lebih serius dibandingkan
dari kemiskinan dari segi pendapatan. Bidang-bidang khusus yang patut
diwaspadai adalah:
· Angka gizi buruk (malnutrisi)
yang tinggi dan bahkan meningkat pada tahun-tahun terakhir: seperempat anak di bawah
usia lima tahun menderita gizi buruk di
Indonesia, dengan angka gizi
buruk tetap sama dalam tahun- tahun terakhir kendati telah terjadi penurunan
angka kemiskinan.
· Kesehatan ibu yang jauh lebih
buruk dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang sama, angka kematian ibu
di Indonesia adalah 307 (untuk 100.000 kelahiran hidup), tiga kali lebih besar
dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari Cina dan Malaysia hanya sekitar 72
persen persalinan dibantu oleh bidan terlatih.
· Lemahnya hasil
pendidikan. Angka melanjutkan
dari sekolah dasar
ke sekolah menengah masih rendah, khususnya di antara penduduk miskin:
di antara kelompok umur 16-18 tahun pada kuintil termiskin, hanya 55 persen
yang lulus SMP, sedangkan angka untuk kuintil terkaya adalah 89 persen untuk
kohor yang sama.
· Rendahnya akses terhadap air bersih, khususnya di antara
penduduk miskin. Untuk kuintil
paling rendah, hanya 48 persen yang
memiliki akses air bersih di daerah pedesaan, sedangkan untuk perkotaan, 78
persen.
· Akses terhadap sanitasi
merupakan masalah sangat penting.
Delapan puluh persen penduduk
miskin di pedesaan dan 59 persen penduduk miskin di perkotaan tidak memiliki
akses terhadap tangki septik, sementara itu hanya kurang dari satu persen dari
seluruh penduduk Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan kotoran berpipa.
3. Perbedaan antar daerah yang
besar di bidang kemiskinan. Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia,
di antaranya tercerminkan dengan adanya perbedaan antara daerah pedesaan dan
perkotaan. Di pedesaan, terdapat sekitar 57 persen dari orang miskin di
Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki akses terhadap pelayanan
infrastruktur dasar hanya sekitar 50 persen masyarakat miskin di pedesaan
mempunyai akses terhadap sumber air
bersih, dibandingkan dengan 80 persen bagi masyarakat
miskin di perkotaan. Tetapi yang
penting, dengan melintasi kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui
perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri.
2.5 Prioritias Untuk Pengentasan Kemiskinan
Strategi pengentasan kemiskinan yang
efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen:
- Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
- Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
- Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin
Sebagai kesimpulan, masalah kemiskinan Indonesia yang
terus ada dan bersifat khas, digabung dengan prioritas pemerintah dan kemampuan
fiskal untuk menanganinya, Indonesia saat ini berada dalam posisi untuk meraih
kemajuan yang berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Pertanyaannya adalah: dari mana semua harus
dimulai? Berbagai tindakan
diperlukan di beberapa bidang untuk menangani empat butir
penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia yaitu:
- mengurangi kemiskinan dari segi pendapatan melalui pertumbuhan
- memperkuat kemampuan sumber daya manusia
- mengurangi tingkat kerentanan dan risiko di antara rumah tangga miskin, dan
- memperkuat kerangka kelembagaan untuk melakukannya dan membuat kebijakan publik lebih memihak masyarakat miskin.
Mengingat ke-empat butir tersebut di atas, maka ada 16
tindakan berikut merupakan prioritas untuk dilakukan dengan segera. Ke 16
tindakan itu yaitu:
1)
Hapuskan larangan impor beras.
2)
Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses
dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat
miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3)
Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu layanan
kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik ke
layanan kesehatan.
4)
Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang
sangat tinggi di Indonesia.
5)
Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi
berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6)
Tangani krisis sanitasi
yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7)
Luncurkan program berskala besar untuk melakukan investasi pembangunan jalan
desa.
8)
Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis
masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9)
Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu
menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir
miskin.
10)
Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan
membangun kembali riset dan penyuluhan.
11)
Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan
tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12)
Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13)
Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan
akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14)
Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di
tingkat nasional untuk penyediaan
layanan.
15)
Jalankan program pengembangan
kapasitas untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam
merencanakan, menganggarkan dan
melaksanakan program pengentasan
kemiskinan.
16)
Perkuat monitoring dan kajian
terhadap program kemiskinan.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan di manapun adalah
masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan. Berikut ada 16 cara yang dapat
dilakukan untuk mengentasakan kemiskinan tersebut yaitu:
1)
Hapuskan larangan impor beras.
2)
Lakukan investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses
dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi masyarakat
miskin, sambil terus meningkatkan mutu dan efisiensi sekolah dasar.
3)
Lakukan investasi di bidang kesehatan dengan fokus pada perbaikan mutu
layanan kesehatan dasar (oleh pemerintah dan swasta) dan akses yang lebih baik
ke layanan kesehatan.
4)
Suatu upaya khusus diperlukan untuk menangani angka kematian ibu yang
sangat tinggi di Indonesia.
5)
Perbaiki mutu air bagi masyarakat miskin dengan menggunakan strategi
berbeda antara daerah pedesaan dengan perkotaan.
6)
Tangani krisis sanitasi
yang dihadapi Indonesia dan masyarakat miskinnya.
7)
Luncurkan program berskala besar untuk melakukan investasi pembangunan jalan
desa.
8)
Perluas (sampai tingkat nasional) pendekatan pembangunan berbasis
masyarakat (CDD) Indonesia yang sukses.
9)
Pengembangan secara utuh sistem jaminan sosial komprehensif yang mampu
menangani risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dan hampir
miskin.
10)
Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur dan
membangun kembali riset dan penyuluhan.
11)
Memperlancar sertifikasi tanah dan memanfaatkan kembali tanah gundul dan
tidak subur untuk penggunaan yang produktif.
12)
Membuat peraturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel.
13)
Perluas jangkauan layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan tingkatkan
akses usaha mikro dan kecil ke pinjaman komersial.
14)
Perbaiki fokus kepada kemiskinan dalam perencanaan dan penganggaran di
tingkat nasional untuk penyediaan
layanan.
15)
Jalankan program pengembangan
kapasitas untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam
merencanakan, menganggarkan dan
melaksanakan program pengentasan
kemiskinan.
16)
Perkuat monitoring dan kajian
terhadap program kemiskinan.
BAB IV
STUDY
KASUS
4.1 Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap Tinggi
Ketika program subsidi langsung tunai
(SLT) berakhir, banyak yang menduga angka kemiskinan meningkat di 2007. Bank
Dunia, misalnya, pada laporan World Bank East Asia Update yang dilansir
November 2006, memperkirakan angka kemiskinan tahun depan akan meningkat setelah
berakhirnya program SLT.
"Program Subsidi Tunai Bersyarat
yang akan dimulai tahun depan akan terlalu kecil untuk meredam dampak berakhirnya
SLT," kata laporan itu.
Kajian Tim Indonesia Bangkit lebih
kritis lagi. Gabungan pengamat ekonomi di tim itu menilai angka kemiskinan
pasti meningkat di tahun ini mengingat daya beli rakyat yang terus merosot.
Lalu karena berakhirnya SLT, dan tak terkendalinya harga kebutuhan pokok
seperti kenaikan harga beras dan minyak goreng serta banjir di beberapa daerah.
"Angka kemiskinan hanya akan
turun dengan dua kemungkinan, melakukan perubahan dan rekayasa metodologi
perhitungan. Kedua, melakukan perubahan atau pembersihan sampel data, yang
merupakan cara yang sangat vulgar dan manipulatif serta sangat memalukan baik
secara moral maupun intelektual," tutur pengamat ekonomi Imam Sugema. Namun,
di luar dugaan angka kemiskinan justru turun 2,13 juta orang dari tahun lalu.
Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp 151.997 per kapita per bulan menjadi
Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat
dipengaruhi garis kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan, kenaikan pendapatan masyarakat yang berada di garis kemiskinan itu
meningkat dibandingkan kenaikan harga bahan pokok. Di samping itu, walau harga
beras naik, namun diimbangi dengan digelontorkannya program beras bagi masyarakat
miskin. BPS menilai walau pun SLT
berakhir tetapi banyak penduduk miskin yang dapat menggunakan duit yang berasal
dari SLT untuk bekerja informal. Terkait kemiskinan ini, analisa Bank Dunia
menunjukkan, perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin di Indonesia
sangat kecil.
Kerentanan untuk jatuh miskin sangat
tinggi di Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, ada tiga ciri menonjol dari
kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar
garis kemiskinan yang setara dengan pendapatan perkapita US$ 1,55 per hari.
Sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin, rentan terhadap
kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan
pada pendapatan sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya.
Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tapi
dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan
dasar. Serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan
beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar
dari kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan dana yang dikucurkan untuk
program kemiskinan, dinilai tidak menyentuh langsung ke permasalahan
kemiskinan. Anggaran kemiskinan sebesar Rp 54 triliun di 2007 dan Rp 62 triliun
di 2008, menurut Imam Sugema, dari nilai Rp 54 triliun itu yang langsung
bersentuhan dengan kemiskinan hanya Rp 5 triliun. Meski demikian, walau dari
sisi statistik kemiskinan di Indonesia turun, tetapi kenyataannya, kesenjangan ekonomi
antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih tajam.
Besarnya jumlah penduduk miskin itu,
karena masih besarnya angka pengangguran di Indonesia. Tidak terserapnya
angkatan kerja, memang disebabkan lambatnya laju ekspansi sektor usaha. Data
BPS menunjukkan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai
108,13 juta orang atau bertambah 174 juta orang dibanding angkatan kerja
Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta. Dari penambahan angkatan kerja itu,
jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari tahun ini mencapai 97,58
juta orang. Dengan begitu, jumlah pengangguran di Indonesia masih mencapai
10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun juga, jika pemerintah
masih belum mampu menggerakkan sektor riil, maka pengangguran masih akan
membengkak karena angkatan kerja terus bermunculan dan jumlah penduduk yang
belum bisa diatasi seperti terlihat pada data periode Maret 2006 populasi
penduduk sebesar 221,328 juta orang menjadi 224,177 juta orang di 2007.
Tugas berat bagi pemerintah saat ini
maupun pemerintah yang selanjutnya memang mengurangi angka kemiskinan dan
pengangguran. Tentu kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara ini tidak lagi
terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai melainkan menjadi satu untuk
bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran ini.
4.2 Pemerintahan SBY-JK dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Oleh : Bawono Kumoro
10-Des-2008, 22:23:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]
10-Des-2008, 22:23:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia
- Peluang Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk memenangkan pemilihan presiden (pilpres) 2009 belum
sepenuhnya aman. Peluang SBY untuk terpilih kembali akan aman bila kepuasan
publik terhadap kinerjanya berada di atas 60%. Sebaliknya, SBY akan sangat
mungkin dikalahkan jika kepuasan publik atas kinerja pemerintahannya berada di
bawah 50%.
Demikian hasil survei terbaru Lembaga Survei
Indonesia (LSI) yang dilakukan pada tanggal 8-20 September 2008. Survei ini
melibatkan 1.239 responden dengan toleransi kesalahan 2,8% pada tingkat
kepercayaan 95%. Sulit dipungkiri bahwa peluang SBY pada pilpres 2009 sangat
bergantung pada kinerja pemerintahannya di bidang ekonomi, terutama soal
pengentasan kemiskinan.
Dua Paradigma
Ada semacam kesepakatan luas, jika pengentasan kemiskinan menjadi motif utama dari kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin menjadi tujuan terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua paradigma berbeda tentang cara pencapaiannya.
è Pertama, keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab untuk mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun, realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain disebabkan oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja.
è Kedua, keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu untuk mendapatkan penghasilan. Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi utama perekonomian rakyat. Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan dengan usaha padat modal tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan mampu meningkatkan investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayangnya, sebagimana paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris yang menyakinkan guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari kedua paradigma di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.
Empat Acuan
Meskipun demikian, penulis berpandangan ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan SBY-JK guna memaksimalkan upaya pengetasan kemiskinan dalam sisa satu tahun masa pemerintahannya.
- Pengetasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus sangat mempertimbangkan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di pasar dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan industrinya belum maju dan sektor informalnya masih sangat mendominasi, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Hasrat untuk mampu bersaing dalam pasar global selayaknya diimbangi dengan berbagai upaya untuk mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi.
- Negara berkembang dengan potensi pasar yang luas seperti Indonesia sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (baca: World Trade Organization, International Monetary Fund, dan World Bank) serta negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Jika permintaan itu dipenuhi, maka tidak pelak lagi akan berdampak pada anjloknya tingkat upah pekerja yang selanjutnya potensial berujung pada meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti jumlah orang miskin di Indonesia akan semakin bertambah banyak.
- Kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri. Pemberian kesempatan yang sama tersebut tentunya harus diimplementasikan lewat berbagai kebijakan dan regulasi.
- Pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta strategi pembangunan yang spesifik hanya akan dapat diterima luas jika hal tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, terutama kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para pengusaha atau kaum berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam kaitan perumusan kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan dapat mencapai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan proyek kemanusiaan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selama kurun waktu lima belas tahun (2000-2015). MDGs disepakati oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Dengan demikian hanya tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengurangi separuh jumlah penduduk miskin.
4.3 Ketika Pengentasan Kemiskinan Hanya Komoditas Politik
Written by Redaksi Web Tuesday, 24 March 2009 14:07
Oleh:
Yusnita H SH
Kampanye terbuka Pemilu 2009 akan dimulai
pertengahan bulan ini setelah sejak beberapa bulan lalu hanya bisa dilakukan
dengan kampanye terbatas dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka,
media massa cetak dan elektronik, serta penyebaran bahan kampanye dan alat
peraga di tempat umum (UU No. 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD).
Dalam kampanye ini, sebanyak 38 partai
yang resmi mengikuti pemilu secara nasional sudah mulai menawarkan dagangannya,
dan salah satu yang terlaris adalah kemiskinan. (Angka) kemiskinan akan menjadi
dagangan, baik itu untuk memoles lapak sendiri, yakni dengan menawarkan
program, janji, tentang penyelesaian problem kemiskinan. Selain itu, tak lupa
menunjuk atau bahkan menjelekkan dagangan orang lain, dalam rupa mengritik,
mengoreksi, dan mencela rezim sebelumnya serta partai saingan saat ini, dalam
hal program sejenis.
Genealogi Pemberantasan Kemiskinan
Menurut Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The Functions of Public Welfare, Vintage Books 1993), kemiskinan meliputi tiga aspek (1) kekurangan materi dan kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan; (2) tidak terpenuhinya kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan dan informasi; dan (3) kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda, tergantung konteks politik dan ekonomi suatu negara
Kemiskinan jamak terjadi di negara
berkembang, namun eksis pula di negara maju dalam bentuk komunitas tunawisma
dan ghetto (daerah kumuh). Di Indonesia sendiri, menurut data Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (dibentuk tahun 2005 melalui Perpres Nomor 54, lihat
www.tkpkri.org), Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan
sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang
tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun
program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965.
Adapun pada era Orba, melalui Repelita dilakukan strategi khusus menuntaskan
masalah kesenjangan sosial-ekonomi, yang mengerucut menjadi program Inpres Desa
Tertinggal ( IDT). Namun, usaha Orba ini pun gagal akibat krisis ekonomi dan
politik tahun 1997.
Selanjutnya, era reformasi menelurkan
program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Keppres Nomor 190 Tahun 1998. Berbagai
usaha di atas belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data UNDP menyebutkan,
Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index-HPI) yang memfokuskan
perhatiannya pada proporsi manusia yang berada di bawah ambang batas dimensi
pembangunan manusia yang sama dengan indeks pembangunan manusia-panjang umur
dan hidup sehat, memiliki akses terhadap pendidikan, dan standar hidup yang
layak, menyimpulkan Nilai HP-1 untuk Indonesia, yaitu 18,5, berada di urutan 41
dari 102 negara berkembang (data tahun 2005). Indeks ini semakin buruk dalam
krisis energi dan pangan saat ini, ketika harga melonjak dan membuat pemenuhan
kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan) semakin tak terjangkau
Logika Iklan Kampanye vs Marhaenisme
Sebagai sebuah kondisi laten dalam denyut
nadi bangsa, kemiskinan akan tetap menjadi perhatian semua stakeholder,
khususnya terkait kampanye Pemilu 2009. Pemahaman terhadap kondisi objektif
kemiskinan, ditambah data-data dan fakta, serta diolah dengan logika-kreatif
iklan akan menghasilkan "dagangan" yang dibungkus indah dalam
retorika dan advertensi.
Lihat saja kampanye beberapa tokoh yang
sejak beberapa saat lalu sudah berseliweran di media elektronik. Prabowo misalnya,
mewacanakan kemiskinan untuk disikapi dengan usaha produktif dan pemberdayaan
masyarakat kecil (petani), dengan "mari kita beli bahan pangan bergizi
dari petani kita...", sehingga "macan Asia (Indonesia-pen) akan
mengaum kembali". Sedangkan Wiranto, sempat menimbulkan kegerahan politik
dengan kritikan pedasnya terhadap rezim SBY soal janji tidak akan menaikkan
harga BBM. Lagi-lagi anchor point-nya adalah persoalan kemiskinan, yakni jangan
bebani rakyat yang sudah miskin dengan kebijakan yang tidak populer dan
memperparah keadaan.
Logika iklan adalah bagaimana menjadikan
dagangan laku terjual, dengan segala cara. Jamak terjadi, iklan mempergunakan
data-fakta secara berlebihan dan melenceng, mengecoh, mengelabui, dan bahkan
menipu konsumen. Seperti diungkap oleh Vilhjalmur Stefansson (Discovery, 1964),
"What is the difference between unethical and ethical advertising?
Unethical advertising uses falsehoods to deceive the public; ethical
advertising uses truth to deceive the public", yakni, setiap iklan akan
menggunakan kebenaran ataupun kekeliruan untuk mengelabui public.
Yang perlu kita waspadai adalah penyesatan
publik lewat tema kemiskinan ini, memoles janji untuk memikat suara rakyat.
Padahal, kita sudah kenyang dengan pengalaman sulitnya menagih janji yang
terucap dalam kampanye. Kepedulian pada orang miskin hanya temporer, dangkal,
dan semu.
Belum ada upaya menggodok gagasan
pemberantasan kemiskinan ini menjadi sesuatu yang heroik namun realistis,
seperti halnya ketika Sukarno berjumpa dengan petani miskin Pak Marhaen, yang
menghasilkan marhaenisme yang secara ideologis-praksis digunakan untuk
menyemangati rakyat agar mandiri.
Mengaudit Program Anti-Kemiskinan dan Peran Masyarakat Sipil
Pemilu 2009 akan mengantar berkuasanya
sebuah rezim, merupakan panggung pembuktian janji dan pelaksanaan konsep serta
program kerja. Entah apapun bentuknya, dan lembaga apa yang bakal melaksanakan
program pro-kemiskinan, yang terpenting bagi rakyat adalah transparansi dan
audit progress apa yang telah tercapai. Oleh karenanya, lembaga pelaksana
program ini musti independen (seperti halnya KPK), sehingga bebas dari tekanan
pemerintah maupun oposan, namun merengkuh semua pihak untuk berperan-serta.
Berbagai program tersebut, selain up-bottom, juga meniscayakan gerakan bottom-up
yang memberdayakan masyarakat sipil untuk mengangkat diri sendiri.
Terakhir, berikut beberapa entry-point
yang bisa menjadi panduan bagi semua stakeholder dalam program pro-kemiskinan:
(1) revitalisasi dan rejuvenasi program pro-kemiskinan di era lalu yang
mempunyai nilai positif, seperti kelompok tani & nelayan (menggalang
kemandirian dan self-learning); (2) penguatan social security system (Jaring
Pengaman Sosial), yakni harus ditingkatkan hingga jaminan penuh terhadap
kebutuhan dasar, dan dilengkapi dengan penyediaan lapangan kerja dasar
(pemberian "kail" dan "umpan"); (3) kemandirian ekonomi
rakyat berupa koperasi yang kuat dan akuntabel; (4) proyek padat karya,
terutama untuk infrastruktur, dengan fokus daerah terpencil dan luar Jawa, yang
dilaksanakan secara terencana dan akuntabel; (5) peran kelas menengah dan UKMM,
yang perlu ditopang dengan kebijakan yang pro-rakyat, guna menyerap lebih
banyak lagi lapangan kerja; (6) gerakan berdikari, mencukupi sendiri dengan
produk dalam negeri, ekspor barang jadi yang bernilai tambah, dan pendayagunaan
local genius secara optimal.
1 komentar:
Nice infoyang diberikan anda sangat bermanfaat.,
Ditunggu kembali artikelnya yang baru
Kunjungan balik blogsaya juga boss
Posting Komentar