Makalah Akuntansi Karbon (Carbon Accounting)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akuntansi karbon pada dasarnya perlu diketahui oleh para mahasiswa, terutama mahasiswa jurusan akuntansi. Karena sekarang ini sangat sedikit ada orang yang memaparkan dan menuliskan menegenai apa itu akuntansi karbon, apa saja yang ada di dalamnya serta pentingnya memepelajari akuntansi karbon.
Melihat kondisi sekarang ini sangat banyak industri maupun perusahaan yang system operasional mereka menghasilkan limbah di Indonesia. Maka di era globalisasi ini industry-industri tersebut harus bekerja dengan baik dan menjaga keeksistensi mereka. Termasuk menerapkan akuntan skarbon di dalamnya dan manajemen yang baik.
Perusahaan pengahasil limbah diantaranya perusahaan-perusahaan yang memproduksi pupuk, kemudian hotel, rumah sakit dan klinik. Perusahaan tersebut banyak yang mengahsilkan limbah bahan bahaya beracun (B3).
Limbah tersebut sangatlah berbahaya pada lingkungan dan bahkan bisa merusak keseatan manusia. Seperti limbah rumah sakit jauh lebih berbahaya dari pada limbah pabrik atau perkebunan. Karena selain merusak lingkungan, dapat membahayakan kesehatan manusia. Limbah bekas bersalin, darah, kotoran, pakaian operasi, pakain pasien, jarum suntik hingga obat yang tidak terpakai, menjadi limbah paling berbahaya.
Oleh karena itu dalam pengelolaan limbah dengan baik untuk menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat sangatlah penting, hal ini juga menjaga loyalitas masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Berbagai langkah harus ditempuh oleh perusahaan sebagai solusi dalam masalah yang tergolong besar ini. Langkah yang harus di tempuh mengenai operasioanalnya, manajemen, dan bahkan system akuntansi karbon harus ditetapkan sebagai hal yang tidak kalah pentingnya supaya perusahaan tersebut tetap jalan dan menjadi loyalitas pelanggan.
1.2 Rumusan Masalah
Pertumbuhan industry-industry yang mengahasil limbah dalam operasiaonalnya sangat banyak di Indonesia. Banyak keuntungan yang bisa di dapatkan oleh pihak perusahaan, pemerintah dan masyarakat, seperi mudahnya mendapatkan produksi dan jasa dari perusahaan tersebut, seperti perusahaan pupuk, pabrik, rumah sakit klinik, dan lain-lain. Namun kelemahan yang terjadipun tidak dapat dipungkiri dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, lingkungan pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, Isu-isu tentang manajemen biaya karbon (carbon cost management) akan berimplikasi pada isu strategis lain terkait dengan akuntansi manajemen. Sekali biaya carbon suatu produk diketahui, berbagai isu strategis dibidang akuntansi manajemen akan dapat dikembangkan.Dalam hal ini, termasuk efisiensi emisi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja,biaya overhead pabrik, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon, corporate governance, standar akuntansi karbon dan strategi audit (Ratnatunga,2007). Berbagai isu strategis lainnya juga dapat dikembangkan seperti strategi pemasaran karbon, strategi harga dan pemodelan demand atas kredit emisi karbon.
Dari uraian diatas maka penulis dalam makalah ini ingin membuat rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Apa itu pengertian akuntansi, karbon dan akuntansi karbon (carbon accounting) ?
2. Apa itu Protokol Kyoto serta kaitannya?
3. Apa saja paradigma akuntansi karbon dan faktor strategis akuntansi manajemen?
4. Apa saja peran akuntansi karbon?
5. Apa itu konsep akuntansi karbon penuh (FCA)?
6. Apa tinjauan system karbon?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu supaya para mahasiswa dan masyarakat mengetahui mengenai akuntansi karbon dan apa saja yang menyangkut dengan akuntansi karbon ,seperti perusahaan penghasil limbah. Tulisan ini juga sebagai langkah supaya para pembaca bisa mempelajari masalah akuntansi karbon dan bahkan bisa meneliti dan menulis mengenaik akuntansi karbon yang selama ini minim dipaparkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Akuntansi merupakan salah satu disiplin ilmu yang bersifat esensial. Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai informasi yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi seni dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan dalam perusahaan. Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai "bahasa bisnis".[1] Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang akurat agar dapat dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan pihak berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik. Pencatatan harian yang terlibat dalam proses ini dikenal dengan istilah pembukuan
Sedangkan karbon adalah zat arang yang merupakan unsur kimia yang mempunyai simbol C dan nomor atom 6 pada tabel periodik. Karbon memiliki beberapa jenis alotrop, yang paling terkenal adalah grafit, intan, dan karbon amorf.
Jadi, terkait dengan bidang akuntansi, carbon cost management merupakan era baru gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi karbon (Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep carbon cost management, penerapan Carbonaccounting jugaakan berimplikasi secara luas pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama bagi negara maju yang telah menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era Carbonomics.
2.2 Protocol Kyoto
Protokol Kyoto, dalam salah satu pasalnya, menyatakan pentingnya merubah perilaku
hidup menuju konsep ekonomi lingkungan. Diakui atau tidak, sekarang ini aktifitas ekonomi dan konsumsi manusia telah menjadi faktor utama penyebab adanya global warming. Implikasi selanjutnya dari pemanasan global tersebut adalah meningkatnya suhu rata-rata bumi yang dapat berdampak pada aspek sosial budaya secara serius jika tidak segera ditangani. Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C hingga 0,28°C pada tahun 2050.
Pengaruh dampak global warming terhadap kehidupan manusia telah memunculkan
serangkaian tindakan serius dari masyarakat dunia guna melakukan upaya pencegahan efek
global warming secara lebih luas. Protokol Kyoto, yang telah ditanda tangani dan diratifikasi
oleh sebagian besar negara-negara di dunia tersebut merupakan kunci perubahan bagi
masyarakat dunia. Dalam protokol dinyatakan bahwa pemerintah negara-negara pe-ratifikasi,
perusahaan-perusahaan dan konsumen harus segera melakukan upaya perubahan perilaku
menuju konsep ekonomi baru, yaitu, era ekonomi lingkungan, yang oleh Ratnatunga (2007)
dinyatakan sebagai “Carbonomics”.
Gagasan era Carbonomics akan mampu menjadi motor penggerak perlindungan
lingkungan dan penyelamatan dunia dari persoalan peningkatan pemanasan global. Implikasi
dari penerapan konsep Carbonomic akan berakibat pula pada perkembangan sosial budaya,
profesi, model ekonomi dan bahkan sampai pada model supply dan demand.
Salah satu dari rekomendasi Protokol Kyoto adalah diakuinya skema perdagangan
Karbon. Model perdagangan ini dapat digambarkan demikian: perusahan-perusahan awalnya melakukan kesepakatan (dengan mediasi regulasi pemerintah) tentang seberapa besar
Carbondioksida (CO2) yang akan dihasilkan oleh produksi mereka (The Cap). Jika perusahaan tertentu dalam memproduksi barang atau jasa menghasilkan emisi CO2 kurang dari batas yang telah ditetapkan, mereka memiliki nilai kredit, sebaliknya, jika perusahaan tertentu melebihi ambang ketetapan emisi CO2, maka mereka dapat membeli kredit dari perusahaan yang memiliki emisi dibawah ambang ketetapan (Ratnatunga, 2008). Jumlah batas akumulasi emisi karbon dalam suatu wilayah tidak boleh melebihi jumlah batas akumulasi maksimal yang telah ditetapkan (The Cap) (Ratnatunga, 2007).
Isu-isu tentang manajemen biaya karbon (carbon cost management) akan berimplikasi
pada isu strategis lain terkait dengan akuntansi manajemen. Sekali biaya carbon suatu produk
diketahui, berbagai isu strategis dibidang akuntansi manajemen akan dapat dikembangkan.
Dalam hal ini, termasuk efisiensi emisi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead pabrik, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon, corporate governance, standar akuntansi karbon dan strategi audit (Ratnatunga, 2007). Berbagai isu strategis lainnya juga dapat dikembangkan seperti strategi pemasaran karbon, strategi harga dan pemodelan demand atas kredit emisi karbon.
Terkait dengan bidang akuntansi, carbon cost management merupakan era baru gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi karbon (Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep carbon cost management, penerapan Carbonaccounting juga akan berimplikasi secara luas pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama bagi negara maju yang telah menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era Carbonomics.
Namun proses akulturasi sikap dan perilaku ekonomi berbasis ekologi tidak serta merta dapat berlaku dalam suatu wilayah akuntansi sosial, atau memberi efek spektrum yang begitu luas pada bidang lain. Akulturasi tersebut membutuhkan kesiapan pengetahuan, teknologi, justifikasi hukum dan terutama kesadaran konvensional dalam praktik bisnis. Oleh karena itu, dalam tahap awal perkembangan era Carbonaccounting (Akuntansi Karbon) di negara berkembang, khususnya di Indonesia, dibutuhkan seperangkat perekayasaan akuntansi
manajemen sebagai stimulan bagi aplikasi model Carbonacounting. Terkait dengan hal tersebut, maka masalah yang perlu dikaji adalah sejuah mana aplikasi Carbonaccounting tersebut didukung oleh kesiapan dan kemauan untuk mengembangkan berbagai isu strategis dan perekayasaan dibidang akuntansi manajemen. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejauh mana faktor-faktor isu strategis akuntansi manajemen memberi dampak pada paradigm Carbonaccounting.
2.2.1 Carbonomics
Salah satu rekomendasi dari Protokol Kyoto adalah sistem ambang emisi dan
perdagangan karbon. Perusahaan membutuhkan pemikiran dan tekhnologi baru untuk
mengimplementasikan gagasan perdagangan karbon dibawah Protokol Kyoto. Isu pokok dalam perdagangan karbon ini adalah jumlah karbon yang dapat dirasionalisasi dan model pasar perdagangan karbon yang dapat mempengaruhi strategi bisnis, kinerja keuangan dan nilai perusahaan. Untuk dapat mengarah pada gagasan perdagangan karbon, dibutuhkan pemahaman yang baik tentang elemen-elemen akuntansi bisnis dan keuangan, seperti permodalan, permintaan dan penawaran kredit karbon, nilai bisnis manejemen resiko, alokasi modal, dan bahkan jika mungkin adalah standar pelaporan keuangan yang secara khusus terkait dengan transaksi karbon. Sebagai tambahan, isu – isu tentang pajak yang terkait dengan pajak emisi karbon dan implikasi transfer harga perdagangan karbon perlu untuk diperhatikan.
Sekarang ini, di Eropa, fokus utamanya adalah laporan keuangan dan perpajakan. Sedikit sekali yang memfokuskan dalam hal profesi akuntansi yang terkait dengan akuntansi manajemen strategis termasuk penilaian pasar dan isu – isu tentang manajemen kinerja. Isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon (Carbon Cost Management) utamanya terkait dengan apakah pelaporan biaya karbon bersifat mandatory atau voluntary, yang dalam hal tertentu sangat tergantung pada kompetisi industri suatu negara. Ketidak seimbangan dalam konsumsi sumber – sumber ekonomi dalam perspektif keberlanjutan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh perspektif ekonomi semata tetapi rendahnya tingkat kesadaran untuk melakukan tindakan pencegahan Global Warming.
Ada lima gas yang dapat menyebabkan efek global warming yaitu Carbondiokside,
metan, nitrous oxide, sulfur heksaflouride, dan HFC. Protokol Kyoto membatasi keberadaan gas tersebut diudara terutama karbondioksida (Carbondiokside) yang terkait langsung dengan
aktivitas ekonomi dan manusia. Terkait dengan kegiatan ekonomi, Protokol Kyoto memberikan batasan investasi tekhnologi emisi CO2 yang rendah, perhitungan biaya dalam harga pokok produksi dan pembebanan biaya emisi karbon kepada pelanggan berdasar regulasi.
Ratnatunga (2007) telah melakukan penelitian yang melibatkan 638 responden dari 11
negara. Penelitian yang dimulai tahun 2003 hingga awal 2007, menghasilkan berbagai gagasan segar terkait dengan pengurangan karbon bagi entitas bisnis dan perseorangan serta isu – isu strategis dibidang akuntansi manajemen terkait dengan manajemen karbon (sebagian ditampilkan dalam Tabel 1).
2.2.2 Kendali Karbon Akuntansi dan Protokol Kyoto: A Systems-Analytical View
Sumber IIASA Hutan Lestari (FOR) Proyek, bersama dengan Sistem Energi Energi Kompatibel (ECS) Proyek, adalah melaksanakan akun karbon penuh (FCA) untuk Rusia. Laporan ini membahas aplikasi FCA dalam menangani beberapa masalah ilmiah utama dan tantangan yang mendasari Revisi 1996 Pedoman Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Protokol Kyoto. UNTUK bergerak menuju pendekatan penuh karbon akuntansi, mengambil baseline, skenario baseline dan ketidakpastian ke rekening. Kami memiliki sejumlah keunggulan dalam melaksanakan pekerjaan ini dengan memiliki akses ke database yang unik di Rusia. Vegetasi hutan Rusia mengandung sekitar 20 persen karbon dunia disimpan dalam vegetasi hutan yang kami telah menghasilkan database rinci tentang sektor kehutanan, terestrial biota, dan penggunaan lahan. UNTUK juga akan memperoleh account karbon penuh untuk negara-negara lain (Austria, Ukraina, dll), yang akan memungkinkan proyek untuk menggeneralisasi temuan dan untuk mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan yang relevan untuk membuat Protokol Kyoto operasional. Karya ini akan secara signifikan memberikan kontribusi pada kerja IPCC dan Internasional Program Geosfer-Biosfer, dan secara alami akan link dengan remote sensing dan kegiatan keanekaragaman hayati di IIASA. Studi ini menganalisis sejumlah isu penting yang relevan dengan, tetapi tidak tepat diperhitungkan oleh Protokol Kyoto. Isu-isu berkaitan dengan: (1) apakah pedoman gas rumah kaca dari Panel Itergovernmental tentang Perubahan Iklim dapat berfungsi sebagai penghitungan karbon utama dan sistem kepatuhan hukum dari Protokol Kyoto, (2) penghitungan karbon penuh, (3) menetapkan baseline dan pasca 1990 skenario baseline, dan, (4) akuntansi untuk ketidakpastian
2.3 Carbonaccounting (juga Paradigma Carbonaccounting) dan Faktor-Faktor Strategis Akuntansi Manajemen
Terkait dengan gagasan Carbonomics, dampak gagasan tersebut telah merambah di
berbagai macam profesi, diantaranya adalah profesi akuntansi. Hal ini karena bidang akuntansi, terutama akuntansi manajemen, keuangan dan audit baik langsung ataupun tidak langsung terkena dampak dari era carbonomics tersebut. Dalam terminologi akuntansi, Carbonomics memberi dampak pada Carbonaccounting. Pada tahapan selanjutnya, era Carbonacccounting akan berkembang jika didukung oleh berbagai sistem dan perekayasaan akuntansi yang memadai. Pada era Carbonaccounting, sebuah gagasan untuk menghubungkan produk dengan efisiensi CO2 perlu mendapat dukungan dan perhatian secara serius, sebab satu gagasan dalam efisiensi emisi CO2 adalah satu tindakan dalam penyelamatan dunia. Inilah makna penting Paradigma Carbonaccounting dalam pengembangan profesi dan perekayasaan akuntansi dalam situasi dunia yang tengah dilanda kecemasan akibat global warming.
Kunci utama dalam Carbonaccounting adalah efisiensi emisi gas rumah kaca, khususnya CO2 (gas terbesar yang dihasilkan oleh aktifitas manusia), yang terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa. Oleh karena itu, pengendalian emisi CO2 merupakan faktor kunci. Jika mekanisme perdagangan karbon dalam Protokol Kyoto disepakati dalam suatu negara maka kejelasan tentang sistem perdagangan karbon, penyerapan emisi karbon serta batas emisi karbon harus tertuang secara jelas dalam sebuah perundangan. Dorongan untuk mencapai paradigma Carbonaccounting juga akan semakin jelas terwujud jika capaian minimalisasi global warming dan perubahan perilaku (cukture) dapat terukur secara jelas.
Paradigma Carbonaccounting akan didukung oleh dunia praktik akuntansi jika berbagai instrumen strategis yang melingkupinya telah siap. Mencermati berbagai isu dalam editorial Ratnatunga (2007, 2008), dapat dirangkum berbagai faktor terkait dengan kebutuhan instrument strategis akuntansi manajemen.
2.3.1 Paradigma Carbonaccounting dan standar akuntansi karbon
Standar akuntansi karbon merupakan isu strategis yang diduga mampu mendorong
paradigma Carbonaccounting. Standar akuntansi karbon, selain sebagai pijakan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan manajemen karbon, juga menjadi dasar bagi pengambilan
keputusan terkait dengan biaya produksi berbasis efisiensi emisi karbon. Karena batas wilayah pencemaran emisi karbon dalam ruang udara bersifat semu, maka standar akuntansi karbon juga harus mengatur tentang biaya litigasi dalam sengketa perdagangan karbon. Semakin transparan dan akuntabel standar karbon akan semakin mendorong perubahan paradigma manajemen menuju Carbonaccounting
2.3.2 Paradigma Carbonaccounting dan sistem kontrol manajemen
Sistem kontrol manajemen (SKM) merupakan terminologi yang sangat luas, yang
meliputi sistem akuntansi manajemen (SAM) dan juga sistem kontrol yang lain seperti personal control ataupun clan control. Sementara itu SAM didefinisikan sebagai praktik-praktik akuntansi manajemen seperti budgetting, yang digunakan secara sistematis untuk mencapai tujuan perusahaan (Chenhall, 2003). Beberapa penggagas teori (teorists)seperti Burn, Stalker, Perrow, dan Thompson (dalam Chenhal, 2003) menyatakan pentingnya fokus studi terhadap hubungan antara teknologi dengan struktur organisassi. Identifikasi terhadap variabel kontekstual yang secara potensial berimplikasi terhadap efektifitas desain SKM dapat didekati dari perspektif teori contingency. Hasil-hasil penelitian yang lalu menunjukkan ada hubungan antara kondisi lingkungan organisasi dengan SKM.
Terkait dengan era karbon, SKM sebuah perusahaan seharusnya didesain untuk
menopang paradigma carbonaccounting. Dalam hal ini, dua aspek penting SKM adalah,
pertama, perilaku manajemen dalam mencapai target efisiensi karbon. Tanpa perubahan perilaku manajemen dalam level personal, sistem perusahaan tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting. Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan manajemen dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem tersebut akan memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian dari tanggungjawan social perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global warming.
2.3.3 Paradigma Carbonaccounting dan manajemen produksi
Penelitian Ratnatunga (2007) yang dilakukan sepanjang tahun 2003 hingga 2007 juga
menyimpulkan faktor-faktor penting yang terkait dengan manajemen efisiensi karbon dalam
produksi, seperti manajemen bahan baku (limbah produksi), biaya overhead pabrik (BOP)
konvensional (diantaranya marketing, trasportasi bahan baku, depresiasi mesin), BOP
lingkungan (diantaranya biaya regulasi, recycling, amortisasi biaya desain), tenaga kerja (etos
kerja berbasis efisiensi karbon), dan aspek pembiayaan (stock holding costs, debitors costs, dan carbon tax). Mendasarkan pada aspek-aspek produksi tersebut, manajemen produksi harus melingkupi standard teknis produksi berbasis efisiensi CO2, efisiensi bahan baku dan waktu produksi. Semakin jelas tolok ukur manajemen produksi berbasis ekologi maka semakin jelas pula pula arah perubahan paradigma akuntansi manajemen menuju Carbonaccounting.
2.3.4 Paradigma Carbonaccounting, Corporate Governance dan Strategi Audit
Corporate governance merupakan isu strategis dibidang akuntansi manajemen. Tidak
saja karena meningkatnya pasar uang secara global, pertumbuhan perusahaan mutinasional dan perkembangan ekonomi kawasan, namun corporate governance dibutuhkan dalam situasi
mengatasi tumbangnya berbagai perusahaan raksasa kelas dunia (Subramanian, dan Janek
Ratnatunga (2003)). Lebih jauh, Ratnatunga dan Muhamed Ariff (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap corporate governance terutama dimotivasi oleh kepentingan publik dalam hal kesehatan ekonomi perusahaan dan ekonomi sosial secara keseluruhan.
Dalam perspektif paradigma carbonaccounting, dimensi penyelamatan ekologi adalah faktor penting dalam keberlanjutan ekonomi negara, bahkan dunia. Oleh karena itu, paradigm carbonaccounting harus didukung oleh corporate governance yang melingkupi kesehatan dan keberlanjutan ekonomi sosial. Faktor penting implementasi carbonaccounting dalam perspektif corporate governance adalah adanya jaminan dari institusi (profesi atau institusi hukum) tentang akuntabilitas dan transparansi pelaporan manajemen karbon oleh perusahaan. Dua aspek tersebut memberi dukungan pada keberlanjutan ekologi dan ekonomi sosial secara keseluruhan, sebagai tujuan utama dalam efisiensi karbon.
Lebih jauh, guna mendukung implementasi akuntabilitas dan transparansi manajemen
karbon secara independen, dibutuhkan perekayasaan audit karbon pada tingkat lanjut. Teknik
audit karbon tersebut untuk mengaudit secara obyektif terhadap jejak rekam produksi yang
menghasilkan emisi karbon, yang meliputi bagian produksi, pemasaran, persediaan bahan baku, investasi mesin, praktik SDM dan brand image perusahaan dalam akuntabilitas efisiensi karbon.
Dari kajian penelitian terdahulu tersebut di atas, secara teoritis jelas sekali terdapat
pengaruh dari kesiapan berbagai aspek strategis akuntansi manajemen terhadap paradigma
carbonaccounting. Berbagai aspek strategis tersebut meliputi faktor standar akuntansi karbon; sistem kontrol manajemen; manajemen produksi; corporate governance; dan faktor audit karbon. Secara sistematis, hubungan antar variabel dependen-independen tersebut dapat digambarkan pada Gambar 1.
Mendasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian, penelitian terdahulu dan
kerangka pemikiran teoritis tersebut hipotesis penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
Hipotesis 1: Diduga faktor Standar Akuntansi Karbon berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 2: Diduga faktor Sistem Kontrol Manajemen berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 3: Diduga faktor Manajemen Produksi berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 4: Diduga faktor Jaminan Corporate Governance berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 5: Diduga faktor Audit Karbon berpengaruh terhadap Paradigma Carbonaccounting
2.3.5 Kaitannya dengan Manajemen Produksi
Manajemen produksi sebagai bagian penting efisiensi emisi karbon, juga memegang
peran dalam dalam era carbonacconting. Efisiensi waktu dan bahan baku produksi secara nyata telah mengurangi proses pembakaran dalam proses produksi dan mengurangi kebutuhan energy batu bara yang secara potensial menghasilkan CO2. Efisiensi emisi CO2 dengan demikian harus memperhatikan dua faktor tersebut disamping faktor standard teknis produksi berbasis efisiensi emisi, guna mencapai paradigma carbonaccounting.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahwa Corporate Governance dalam hal jaminan adanya institusi negara / regulator merupakan aspek penting dalam akuntabilitas dan tranparansi manajemen efisiensi karbon. Ratnatunga dan Mohamed Ariff (2005) mengilustrasikan bahwa Corporate Governance merupakan sistem yang secara evlosuioner telah merambah di setiap negara guna mengatasi krisis sistemik yang melanda perusahaan di negara bersangkutan. Global warming merupakan indikasi krisis lingkungan yang secara sistemik dapat berimplikasi pada aspek ekonomi dan sosial suatu negara, bahkan dunia. Mendasarkan perspektif keberlanjutan lingkungan dan ekonomi tersebut, faktor Corporate Governance merupakan variabel potensial dalam era carbonaccounting.
Guthrie (1996) menyatakan bahwa perusahaan sektor publik, baik swasta maupun badan usaha milik negara, dewasa ini sedang mengalami tekanan dari berbagai pihak untuk
mengungkapkan informasi yang terkait dengan lingkungan. Bahkan beberapa pihak telah
meminta dilakukannya penelitian secara mendalam guna pengungkapan informasi lingkungan
dalam annual report. Namun beberapa kalangan profesional dan praktisi perusahaan hingga
sekarang masih kesulitan menemukan bentuk baku tentang pelaporan lingkungan tersebut. Lebih jauh, Larrinaqa, et al., (2002) menunjukkan bahwa pelaporan lingkungan secara mandatory merupakan salah satu cara untuk meningkatkan akuntabilitas sosial perusahaan. Namun suatu standar yang ditetapkan harus mampu mengcover kepentingan stakeholders dan memperkuat akuntabilitas perusahaan secara obyektif. Berangkat dari fakta obyektifitas dan sulitnya menemukan bentuk baku model pelaporan lingkungan tersebut, perusahaan sampel nampaknya memiliki respon yang sama dalam memahami desain pelaporan akuntansi karbon. Implikasi darihal tersebut adalah bahwa standar akuntansi karbon dianggap sebagai faktor yang menyulitkan dalam mengekspresikan pertanggungjawaban efisiensi emisi karbon, apalagi jika standar tersebut menetapkan pelaporan manajemen karbon sebagai hal yang bersifat mandatory. Oleh karena itu responden merespon secara negatif faktor kebutuhan terhadap standar akuntansi karbon.
Strategi audit (karbon), seharusnya merupakan instrumen penting dalam menyikapi
paradigma carbonaccounting. Namun faktor strategi audit dalam penelitian ini bukan merupakan hal signifikan sebagai prediktor paradigma carbonaccounting. Hal ini dikarenakan bahwa sebenarnya strategi audit merupakan implikasi dari paradigma carbonaccounting. Artinya, bahwa pada tahap awal perkembangan era carbonaccounting strategi audit bukan faktor utama dalam desain akuntansi manajemen. Strategi audit lebih mencerminkan kepentingan dimasa datang dibanding kepentingan sekarang dalam tahapan paradigma carbonaccounting.
2.3.6 Kaitan Global Warming dengan Carbon Accounting
Isu-isu tentang global warming dan perdagangan karbon, serta pengaruh keduanya
terhadap terhadap profesi akuntansi telah menjadi diskusi serius yang diselenggrakan oleh ICMA (Institute of Certified Management Accountants), dengan mediator Janek Ratnatunga, peneliti senior dari organisasi tersebut. Serangkaian diskusi yang dilakukan di Australia (8 kali), Kanada (4), India (1), China (1), Lebanon (2), Philipina (1) Papua Nugini (2), Indonesia (4), Sri Lanka (4), Malaysia (2), Singapore (1), dan United Arab Emirates (1) menghasilkan temuan penting terkait dengan dampak penerapan perdagangan karbon terhadap profesi akuntan, cost dan revenue (biaya produksi), serta isu strategis carbon cost management (Ratnatunga, 2007).
Diskusi tersebut mengasumsikan bahwa era carbonomics telah berlaku dan selanjutnya adalah mendeskripsikan model isu-isu strategis, terutama bidang akuntansi manajemen, yang mungkin terkena dampak penerapan konsep karbon tersebut. Sebaliknya, jika seandainya era carbonomics merupakan sutau keharusan, maka faktor-faktor atau isu-isu penting yang terkait dengan Carbonomics harus dapat dieksplorasi secara cermati. Penelitian ini mendasarkan pada analogi asumsi tersebut, sebagai sebuah kajian eksploratif yang hendak menginvestigasi faktorfaktor penting sebagai pendorong implementasi penerapan Carbonaccounting –terminologi khusus bidang akuntansi dalam konsep Carbonomics.
Isu-isu penting dalam diskusi dan hasil temuan para peneliti ICMA yang dianggap
penting adalah terkait dengan faktor standar akuntansi karbon, yang meliputi pentingnya standar emisi, voluntary atau mandatory pelaporan emisi karbon dan biaya litigasi; dan faktor system kontrol manajemen yang meliputi cakupan sistem informasi dalam kerangka perubahan perilaku menuju efisiensi karbon. Faktor ketiga, yaitu manajemen produksi yang merupakan faktor yang secara langsung terkait dengan produksi suatu produk yang menghasilkan emisi karbon, dan pengurangan waktu. Ketiga faktor tersebut terkait dengan strategi sistem akuntansi manajemen karbon.
Faktor lain yang juga penting adalah strategi corporate governance atau yang sering
disebut sebagai faktor jaminan corporate governance, yaitu adanya jaminan akuntabilitas dan
transparasi dalam pelaporan dan manajemen karbon. Faktor lain, adalah dalam hal implementasi akuntabilitas yaitu faktor audit yang terkait dengan teknik lebih lanjut tentang audit emisi karbon dalam tahapan produksi, pemasaran, dan praktik-praktik SDM berbasis efisiensi karbon.
2.3.7 Keterbatasan dan Implikasi Penelitian dimasa Datang
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam demografi obyek populasi, yaitu dalam
lingkup Jawa Tengah. Obyek populasi secara lebih luas (nasional) untuk perusahaan sektor
publik perlu dikembangkan dalam penelitiaan dimasa datang. Tidak adanya variabel kontrol,
seperti rasio-rasio keuangan dan size, menjadi pemicu adanya kemungkinan confounding effect, terlebih lagi mengingat penelitian yang sekarang dilakukan bersifat crossectional. Oleh karena itu, homogenitas obyek data dan penelitian longintudinal dengan data pooled perlu ditekankan dalam penelitian berikutnya.
Fakta empirik standar akuntansi karbon dan strategi audit bukan sebagai variabel
signifikan dalam penelitian menujukkan bahwa standar akuntansi karbon dan bentuk baku
pelaporan emisi karbon masih dalam model yang abstrak. Oleh kerena itu penelitian dimasa yang akan datang dapat lebih dikembangkan khususnya berkaitan dengan desain standar akuntansi karbon dan model integrasi pelaporan emisi karbon dalam laporan keuangan. Hal ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya (Byod dan Spencer Banzhaf, 2006 ; McCright dan Riley E. Dunlap; Caraiani, et al., 2009; Yongvanich dan James Guthrie, 2006) yang menyatakan bahwa secara empirik model pelaporan lingkungan yang terintegrasi dengan laporan keuangan dalam annual report hingga sekarang masih dalam nuansa perdebatan.
2.3.8 Tindak Lanjut diperlukan untuk Memfasilitasi Karbon Akuntansi
Emisi dan Perdagangan - Sebuah Analisis Skenario
Pada tahap ini, tindakan selanjutnya yang paling tepat bagi pemilik proyek karbon hutan untuk mengambil tergantung pada hasil negosiasi pada Konferensi keenam Para Pihak (COP) pertemuan, dijadwalkan untuk November 2.000,40 Pertemuan ini sangat penting bagi
menyelesaikan beberapa definisi, aturan dan modalitas dari Protokol Kyoto. Seperti disebutkan dalam pengenalan dokumen ini, ada dua definisi utama 'Reboisasi' yang berpotensi dapat diadopsi untuk Protokol Kyoto.
Pertama Definisi, yang diberikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mendefinisikan reboisasi sebagai "pembentukan buatan pohon di lahan yang telah dibersihkan dari hutan dalam masa yang relatif baru "(IPCC, 2000). Ini menyiratkan bahwa definisi FAO reboisasi termasuk regenerasi pasca panen. Kedua pilihan utama untuk mendefinisikan reboisasi, yang disediakan oleh IPCC, mendefinisikan reboisasi sebagai "penanaman hutan pada lahan yang sebelumnya telah berisi hutan, tetapi telah dikonversi ke beberapa lainnya gunakan "(IPCC, 2000). Jadi, menurut definisi IPCC, regenerasi pasca panen tidak merupakan regenerasi.
Implikasi dari kedua definisi yang berlawanan tentang reboisasi yang besar, mengingat bahwa SM memiliki sekitar 23 juta hektar lahan hutan yang mungkin atau tidak dapat diklasifikasikan sebagai 'hutan Kyoto', tergantung pada definisi yang diadopsi. Berdasarkan definisi FAO, daerah yang luas lahan 'Kyoto memenuhi syarat' dapat dibuat melalui siklus panen / regenerasi. Ini harus menyediakan insentif untuk mendorong penyerapan karbon selama panen / siklus regenerasi. Namun, definisi FAO menyisakan ruang untuk berbagai 'Celah' karena akuntansi tidak seimbang, di mana negara bisa mendapatkan 'durian runtuh' kredit dengan panen antara tahun 1990 dan 2008 (yang kehilangan karbon yang belum ditemukan), namun mendapatkan kredit untuk karbon yang tersimpan dalam hutan regenerasi setelah 2008 (IPCC, 2000). Itu FAO definisi juga dapat membuat 'insentif' untuk panen hutan pertumbuhan tua, untuk menerima kredit untuk regenerasi hutan (IPCC, 2000).
Berdasarkan definisi IPCC reboisasi, siklus panen / regenerasi tidak menciptakan
Hutan yang memenuhi syarat Kyoto. Dalam sebuah lokakarya baru pada LULUCF, 41, dilaporkan bahwa " Skenario definisi IPCC memberikan konsistensi tertinggi antara dilaporkan dan actual perubahan cadangan karbon atas tanah dengan kegiatan RAD "(IISD, 2000).
Mengingat kelemahan yang diakui secara luas dari definisi FAO reboisasi, itu
mungkin bahwa definisi FAO reboisasi akan diadopsi untuk Protokol, kecuali definisi 'deforestasi' dimodifikasi untuk menyertakan panen. Ada juga ketidakpastian lebih lanjut terkait dengan Pasal 3.4 dari Protokol Kyoto. Selama COP 6, diskusi diharapkan untuk mengambil tempat, apakah atau tidak kegiatan tambahan 40 Mengingat jumlah yang signifikan dan kompleksitas masalah karena untuk diskusi pada COP 6, tidak pasti, dan mungkin, tidak mungkin, bahwa semua masalah ini akan diselesaikan. Hutan pemilik proyek karbon mungkin harus menunggu di luar COP 6 untuk banyak definisi final dan isu-isu mengenai tenggelam hutan harus diselesaikan.
2.4 Peran Akuntansi Karbon
2.4.1 Karbon akuntansi untuk Pemanenan Hutan dan Produk Kayu: Penelaahan dan Evaluasi atas Pendekatan yang Berbeda
Di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, lebih dari 160 negara wajib melaporkan persediaan gas rumah kaca nasional mereka. Untuk membantu negara-negara memenuhi persyaratan ini, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang disiapkan pedoman inventarisasi gas rumah kaca. Pedoman ini secara berkala untuk memastikan bahwa mereka didasarkan pada pengetahuan ilmiah terbaik. Pada bulan Mei 1998, di Dakar, Senegal, pertemuan pakar IPCC ditinjau dan dievaluasi tiga pendekatan akuntansi untuk karbon dari penebangan hutan dan produk kayu. Mereka adalah pendekatan atmosfer-aliran, saham-perubahan dan produksi. Di masa depan, pemerintah dapat memutuskan untuk memasukkan salah satu dari tiga pendekatan dalam perubahan dan kehutanan modul penggunaan lahan dari Pedoman IPCC untuk Persediaan Gas Rumah Kaca Nasional. Di sini, kita menunjukkan bagaimana pendekatan tersebut dapat dievaluasi dengan menggunakan kriteria teknis, ilmiah dan kebijakan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk membantu para pembuat kebijakan yang berpotensi memilih pendekatan untuk Pedoman IPCC. Makalah ini menyajikan kerangka evaluasi dengan memisahkan masalah teknis dan kebijakan masing-masing pendekatan, tetapi tidak membuat rekomendasi kebijakan. Atas dasar teknis dan ilmiah, sekelompok ahli menemukan bahwa tiga pendekatan memberikan hasil yang sama di tingkat global. Ketersediaan data bukan merupakan faktor penting dalam memilih antara pendekatan. Namun, di tingkat nasional, pendekatan dapat berbeda secara signifikan, misalnya, dalam hal batas-batas sistem mereka. Tergantung pada fitur teknis dari masing-masing pendekatan, kredit dan debet untuk aliran CO2 atau perubahan stok karbon dalam produk kayu dicatat berbeda di antara negara-negara yang memproduksi atau mengkonsumsi kayu. Hal ini menyebabkan insentif untuk melestarikan atau meningkatkan stok karbon yang berbeda dalam hutan, penggunaan produk kayu yang diimpor dan bahan bakar kayu dan strategi minimisasi limbah. Setiap pendekatan memiliki implikasi yang berbeda.
2.4.2 Akuntansi Karbon Hutan pada Skala Operasional
Kanada? Hutan s memainkan peran penting dalam karbon global (C) siklus. Kegiatan pengelolaan hutan, diimplementasikan pada skala operasional, dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran C Kanada? Hutan s. Dengan meningkatnya pengakuan nasional dan internasional bahwa kegiatan pengelolaan hutan dapat memberikan kontribusi sumber C nasional dan tenggelam, pengelola hutan dapat memperoleh manfaat dari memiliki alat ilmiah yang kredibel untuk menilai potensi dampak kegiatan pengelolaan alternatif pada saham C dan perubahan stok di pangkalan tanah mereka . Alat tersebut harus menggabungkan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia, menjadi sesuai dengan aturan akuntansi internasional berkembang dan memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mengatasi jenis skenario dan pertanyaan manajemen yang menarik bagi pengelola hutan. Agar biaya yang efektif dan efisien untuk digunakan oleh pengelola hutan, alat harus memanfaatkan informasi yang ada pada persediaan, pertumbuhan dan hasil, dan gangguan yang analis mereka secara rutin digunakan dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan mereka. Informasi yang tersedia harus ditambah dengan data tambahan dan pemodelan untuk memperkirakan perubahan pada kolam C yang tidak umum termasuk dalam inventarisasi hutan, seperti karbon dalam bahan organik mati yang berhubungan dengan sampah, kayu puing kasar dan C. Membangun tanah pada dekade terakhir kerja dalam pengembangan dan penerapan K Anggaran Model Sektor Kehutanan Kanada (CBM-CFS2), Kanada Forest Service C Tim Akuntansi kini bekerja sama dengan Jaringan Hutan Model untuk mengembangkan, menguji dan memberikan skala operasional C alat akuntansi dan database pendukungnya dengan nilai parameter regional. Ketika sepenuhnya dikembangkan (2004), model operasional akan tersedia tanpa biaya kepada siapa saja yang tertarik menggunakannya untuk memperkirakan tingkat stok C hutan lansekap dan C perubahan stok.
Keahlian yang dikembangkan dalam jaringan luas Hutan Model dan mitra mereka di Kanada akan memfasilitasi transfer teknologi dan pelatihan dari komunitas pengguna yang lebih besar. Program transfer teknologi alat dan akan memberdayakan pengelola hutan untuk memasukkan pertimbangan dampak kegiatan yang direncanakan pada saham hutan C. Hal ini akan meningkatkan penggunaan potensi hutan dan kegiatan pengelolaan hutan dalam berkontribusi terhadap strategi pengurangan emisi gas rumah kaca. Kata kunci: siklus karbon, penghitungan karbon, pengelolaan hutan, skala operasional, perubahan penggunaan lahan, hutan Model, CBM-CFS2
2.4.3 Istilah 'Negosiator Kanada' Mengacu pada Wakil yang Terpilih dari Kanada untuk Menghadiri dan Memberikan Kontribusi
Gambar 8: Manajemen pohon keputusan di bawah hasil definisi yang berbeda untuk Pasal 3.3 dan 3.4. Lingkaran menunjukkan hasil yang tergantung pada COP 6. Kotak mengindikasikan tindakan manajemen yang disarankan. Berbagai terbatas tambahan kegiatan pengelolaan dapat digunakan untuk memenuhi komitmen Kyoto berdasarkan Pasal 3.4 Selidiki kelayakan sosial ekonomi manajemen dari 23 juta ha. dari hutan yang dikelola di BC, memastikan berbagai kelas umur dipertahankan (Bagian 5.1.2.2), ditambah penghijauan 3 juta hektar memenuhi syarat lahan non-hutan. Pastikan semua kemungkinan kebocoran Isu-isu ini dibahas. Selidiki kelayakan sosial ekonomi Reboisasi dari 3 juta ha. yang memenuhi syarat lahan non-hutan di SM. Hati-hati pertimbangan dalam desain proyek diperlukan untuk memastikan proyek alamat mungkin masalah kebocoran. Selidiki kelayakan sosial ekonomi
melakukan kegiatan manajemen tambahan pada semua tanah. Melakukan penghitungan karbon penuh pada semua berhasil hutan.
Definisi potensi hasil untuk Pasal 3.3 dan 3.4 Tidak ada kegiatan tambahan di bawah
Pasal 3.4 dapat digunakan untuk memenuhi Komitmen Kyoto The 'mengelola hutan' pendekatan: Sebuah definisi yang luas 'Kegiatan tambahan' diadopsi dalam Pasal 3.4., Yang FAO definisi reboisasi diadopsi untuk menggabungkan.
2.4.4 Mendapatkan Grassland Faktor Manajemen Metode Akuntansi Karbon Dikembangkan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim
Manajemen lahan rumput mempengaruhi (SOC) penyimpanan karbon organik tanah dan dapat digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, untuk negara untuk menilai pengurangan emisi akibat manajemen padang rumput, harus ada metode persediaan untuk memperkirakan perubahan dalam penyimpanan SOC. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah mengembangkan pendekatan akuntansi karbon sederhana untuk tujuan ini, dan di sini kita memperoleh faktor manajemen padang rumput baru yang mewakili pengaruh perubahan manajemen pada penyimpanan karbon untuk metode ini. Pencarian literatur kami mengidentifikasi 49 studi yang berhubungan dengan efek dari praktek manajemen yang baik kondisi rusak atau perbaikan relatif terhadap padang rumput nominal dikelola. Rata-rata, degradasi mengurangi penyimpanan SOC sampai 95% ± 0,06 dan 97% ± 0,05 karbon disimpan di bawah kondisi nominal di daerah beriklim sedang dan tropis, masing-masing. Sebaliknya, meningkatkan padang rumput dengan manajemen tunggal peningkatan aktivitas SOC penyimpanan sebesar 14% ± 0,06 dan 17% ± 0,05 di daerah beriklim sedang dan tropis, masing-masing, dan dengan peningkatan tambahan (s), penyimpanan meningkat lagi 11% ± 0,04. Kami menerapkan faktor koefisien yang baru diturunkan untuk menganalisis potensi penyerapan C untuk padang rumput yang dikelola di AS, dan menemukan bahwa selama periode 20-tahun mengubah manajemen bisa menyerap 5-142 Tg C thn-1 atau 0,1-0,9 Mg C ha-1 yr-1, tergantung pada tingkat perubahan. Analisis ini memberikan direvisi koefisien faktor untuk metode IPCC yang dapat digunakan untuk memperkirakan dampak manajemen, tetapi juga menyediakan kerangka kerja metodologis bagi negara-negara untuk menurunkan faktor koefisien khusus untuk kondisi di wilayah mereka.
2.4.5 Mengacu pada 'Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan dan Kehutanan'
'Hutan non-Kyoto' memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4 untuk membantu dalam memenuhi target Kyoto. Dengan kata lain, tepat "modalitas, aturan dan pedoman bagaimana dan yang tambahan kegiatan manusia "yang memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4, yang belum ditentukan.
Dalam laporan khusus disiapkan oleh IPCC (2000), disarankan bahwa mungkin ada tiga kemungkinan hasil dari pertemuan COP masa depan sehubungan dengan Pasal 3.4. Hasil pertama mengusulkan bahwa tidak ada kegiatan tambahan akan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4, hanya menyisakan kegiatan di bawah Pasal 3.3 berlaku untuk Protokol Kyoto. Hasil kedua pertemuan COP masa depan mungkin bahwa seperangkat terbatas kegiatan yang disetujui akan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4. Hasil ketiga mungkin bahwa berbagai pilihan 'tambahan kegiatan manusia 'akan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4.
Disini, utama lain hasil definisi muncul. Dengan mengadopsi definisi yang sangat luas dari 'tambahan kegiatan ', Pasal 3.3 dan 3.4 bisa dasarnya dikombinasikan dalam kerangka tunggal. Ini adalah apa yang disebut 'hutan yang dikelola' pendekatan, diadopsi oleh negosiator dari Canada42 di memimpin COP ke-6 (IISD, 2000). Pada dasarnya, ini berarti bahwa para negosiator Kanada akan ingin melihat definisi 'reboisasi' untuk memasukkan regenerasi setelah panen (yaitu, Definisi FAO reboisasi), memberikan panen yang dicatat dengan definisi 'deforestasi' (NCCS, 1999). Dengan kata lain, hutan RAD Kyoto akan dimasukkan sebagai komponen dari 'hutan yang dikelola', dan Pasal 3.3 dan 3.4 akan dikombinasikan. Dalam skenario ini, pendekatan 'Full Carbon Accounting' akan diadopsi, di mana semua sumber karbon dan fluks dalam ekosistem hutan akan diperhitungkan (Jonas dkk., 1999b).
2.5 Konsep Akuntansi Karbon Penuh (FCA)
FCA berikut - secara konsisten - konsep-sistem karbon penuh. Dalam studi ini, FCA adalah anggaran karbon lengkap yang mencakup dan mengintegrasikan semua (terkait karbon) komponen dari semua ekosistem darat dan diterapkan secara terus menerus dalam waktu (masa lalu, sekarang dan masa depan). Kita berasumsi bahwa komponen dapat digambarkan dengan mengadopsi konsep pools2 dan fluks untuk menangkap fungsi mereka. Waduk mungkin alam atau manusia-dampak dan internal atau eksternal terkait dengan pertukaran karbon (serta hal-hal lain dan energi) [cf juga Steffen et al. (1998) dan Nilsson et al. (1999)].
2.5.1 Dasar Fisik
Dalam Bagian ini kita meninjau secara singkat dasar fisik balik penghitungan karbon. Ini diperlukan untuk memahami konsekuensi bagi para praktisi yang mencoba untuk menentukan anggaran karbon (lihat bagian 3.5). Hal ini juga memungkinkan kita untuk menganalisis pertanyaan apakah atau tidak Pedoman IPCC dapat berfungsi sebagai akuntansi utama dan sistem kepatuhan hukum untuk Kyoto Protocol.
Untuk tujuan diskusi kita, itu sudah cukup untuk mengadopsi konsep sederhana, di mana kotak mewakili stok karbon atau reservoir (lihat Gambar 3.1). Kita bisa membayangkan, karena cukup rendah-diselesaikan skala spasial dan temporal, siklus karbon atas dasar mekanika kontinum dan memanfaatkan persamaan kontinuitas, yang muncul dari dasar hukum kekekalan massa (dan menyatakan bahwa materi dapat diciptakan maupun dihancurkan).
2.5.2 Latar Belakang Ilmiah Kendali Karbon Akuntansi (FCA)
Bunga dalam sistem karbon telah meningkat karena peningkatan yang diamati dalam tingkat CO2 di atmosfer (dari ~ 280 ppmv pada tahun 1800 untuk nilai sekarang dari 365 ppmv) dan karena penandatanganan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim telah memaksa negara-negara untuk menilai kontribusi mereka terhadap sumber dan penyerap CO2 Dan untuk mengevaluasi proses yang mengendalikan CO2 akumulasi di atmosfer (IPCC, 1995; Indermühle, 1999). Dalam Bagian 3 dari laporan ini. (FCA) didefinisikan, dengan mempertimbangkan konsistensi, dan dinilai dari perspektif yang berbeda, termasuk ketidakpastian. Tujuan keseluruhan ini penilaian adalah untuk memberikan dasar untuk Bagian 4, di mana kita menganalisis Protokol Kyoto dipertimbangan konsep FCA.
2.6 Tinjauan Sistem Karbon
Atmospheric CO2 menyediakan hubungan antara geologi, biologi, fisik, dan antropogenik proses. Karbon dipertukarkan antara atmosfer, lautan, biosfer terestrial, dan litosfer. Pertukaran ini melibatkan beberapa reservoirs2 karbon dengan berbeda kali turnover dan karbon flows2 di antara mereka. Proses pertukaran dapat diilustrasikan dengan bantuan dari dua siklus saling berhubungan, geologi dan siklus biologis. Itu siklus geologi meliputi komponen paling lambat dari sistem, dengan omset kali diurutan ribuan tahun dan seterusnya, sedangkan siklus biologis meliputi lebih cepat komponen, yang memiliki omset kali di urutan puluhan hingga ribuan tahun. Alam Sistem karbon didefinisikan oleh dinamika dari dua siklus, di bawah pengaruh eksternal memaksa mekanisme dan tanpa adanya anthropgenic CO2 input ke atmosfer.
Pengukuran dari gelembung udara yang terperangkap dalam es di kutub menunjukkan bahwa CO2 di atmosfer konsentrasi selama seluruh Holosen, yaitu, selama 8.000 tahun terakhir, adalah ~ 280 ppmv, menyiratkan bahwa sistem karbon alami berada di atau dekat ekuilibrium selama periode ini.
Namun, pada skala waktu yang lebih lama, misalnya, selama periode glasial terakhir sebelum Holocene, yang CO2 di atmosfer Konsentrasi ditemukan lebih rendah oleh ~ 80 ppmv, yaitu pada ~ 200 ppmv. Ini fluktuasi alami ditandai dengan lambat, transisi jangka panjang dan belum dipahami (IPCC, 1995; Heimann et al, 1999;. Indermühle, 1999).
Kegiatan manusia telah mengganggu alam, keseimbangan geologi-biologis, pada dasarnya melalui penggunaan karbon fosil dan gangguan ekosistem darat. (Gambar 3.1 menunjukkan cepat komponen sistem karbon. Ini adalah subsistem ini, juga disebut siklus karbon global, yang Saat menerima perhatian khusus dari banyak ilmuwan dan pembuat kebijakan berkat Konvensi.) Yang dihasilkan akumulasi CO2 di atmosfer telah menyebabkan sejumlah sistem karbon proses menjadi tidak seimbang. Pembakaran bahan bakar fosil dan pembuatan semen, bersama-sama dengan hasil hutan dan perubahan lain dalam penggunaan lahan, semua pengalihan karbon (CO2 terutama sebagai) ke atmosfer. Ini masukan karbon antropogenik maka siklus antara atmosfer dan komponen biosfir dari sistem, yaitu, lautan dan biosfer terestrial. Karena bersepeda karbon di biosfer darat dan laut terjadi secara perlahan, pada skala waktu dekade ke ribuan tahun, efek fosil tambahan dan karbon biomassa disuntikkan ke dalam atmsophere adalah gangguan jangka panjang dari sistem karbon (IPCC, 1995; Heimann et al,. 1999).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akuntansi karbon atau carbonaccounting merupakan salah satu kebutuhan pada era global sekarang ini. Dimana maraknya industry yang menghasilkan limbah, emisi dalam operasionalnya sehingga bisa mengakibatkan global warming pengaruh lingkungan lainnya, dan juga menganggu kesehatan masayrakat. Maka dengan adanya akuntansi karbon yang kunci utamanya sebagai efisiensi gas rumah kaca, khususnya Co2 yang terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa.
Selain itu, Standar akuntansi karbon merupakan isu strategis yang diduga mampu mendorong paradigma Carbonaccounting. Standar akuntansi karbon, selain sebagai pijakan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan manajemen karbon, juga menjadi dasar bagi pengambilan keputusan terkait dengan biaya produksi berbasis efisiensi emisi karbon. Karena batas wilayah pencemaran emisi karbon dalam ruang udara bersifat semu, maka standar akuntansi karbon juga harus mengatur tentang biaya litigasi dalam sengketa perdagangan karbon. Semakin transparan dan akuntabel standar karbon akan semakin mendorong perubahan paradigma manajemen menuju Carbonaccounting.
Dorongan untuk mencapai paradigma Carbonaccounting juga akan semakin jelas terwujud jika capaian minimalisasi global warming dan perubahan perilaku (cukture) dapat terukur secara jelas.
3.2 Saran
Akuntansi karbon seharusnya dipelajari dan ditetapkan dalam perusahaan yang dalam operasionalnya menghasilkan limbah dan gas berbahaya lainnya. Kemudian terkait dengan era karbon sekarang ini, sistem kontrol manajemen sebuah perusahaan seharusnya didesain untuk menopang paradigma carbonaccounting. Dalam hal ini, dua aspek penting SKM adalah, pertama, perilaku manajemen dalam mencapai target efisiensi karbon. Tanpa perubahan perilaku manajemen dalam level personal, sistem perusahaan tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting. Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan manajemen dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem tersebut akan memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian dari tanggungjawan social perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global warming.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Jakfar S, Lisa Kartika Sari, Carbonaccounting : Implikasi Strategis Perekayasaan Akuntansi Manajemen,
Reporter Aji, Perusahaan Penghasil Limbah Jadi ‘ATM’ BPLH. Document available on the Internet: http://beritabekasi.co
Zoe Harkin , Gary Bull, (2000), Towards Developing a Comprehensive Carbon Accounting Framework for Forest in British Colombia, Lexen Burg, Austria. Document available on the Internet: http://webarchive.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-99-025.pdf
Matthias Jonas, Sten Nilsson ,etc, (1999), Full Carbon Accounting and the Kyoto Protocol : A Systems- Analytical View, Lexen Burg, Austria. Document available on the Internet: http://webarchive.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-00-046.pdf
http://ideas.repec.org/p/wop/iasawp/ir99025.html
sumber : http://denganinfo.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar