1. IDENTIFIKASI
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya. Sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama.
Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu diberbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dahulu, menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di Bali ialah masyarakat Bali-Aga dan Bali Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa-bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata-kata dan strukturnya, maka bahasa Bali tak jauh berbeda dari bahasa-bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan-peninggalan prasasti di zaman Bali-Hindu menunjukkan adanya suatu Bahasa Bali kuno yang agak berbeda dengan Bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno itu, disamping mengandung banyak kata-kata sansekerta, Bahasa Bali mengenal pula apa yang disebut “perbendaharaan kata-kata hormat”. Bali didapati juga sejumlah hasil-hasil kesusastraan Jawa kuno (kawi) baik dalam bentuk puisi maupun prosa-prosa.
2. BENTUK DESA
Desa di Bali adalah terutama didasarkan atas kesatuan tempat sebagian dari tanah diwilayahnya adalah milik para warga desa sebagai individu, tetapi sebagian lagi adalah tanah yang ada dibawah hak ulayat.
Disamping kesatuan wilayah, maka sebuah desa merupakan kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu Komplek kuil desa yang disebut Kayangan tiga ialah Pura Puseh, Pura Bale-Agung, dan Pura Dalem.
3. MATA PENCAHARIAN HIDUP
Mata pencaharian pokok dari orang Bali adalah bertani, dapat dikatakan 70% dari mereka berpenghidupan bercocok tanam, dan hanya 30% hidup dari peternakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai atau lainnya.
Subak mempunyai pengurus yang dikepalai oleh Klian Subak, anggota, serta bagian-bagian bawahan yang mengatur pengairan serta penanaman pada wilayah sawah tertentu. Disamping itu Subak mempunyai juga upacara-upacara serta tempat pemujaan sendiri.
4. SISTEM KEKERABATAN
Perkawinan merupakan sutu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat.
Menurut anggapan adat yang lama dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta-kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen.
Bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan dengan saudara laki-laki isteri (Makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes).
Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu dapat memperoleh isteri dengan dua cara yaitu, dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod).
Sesudah perkawinan. Suami-isteri baru biasanya menetap secara vertikal di Kompleks Perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami-isteri baru yang menetap secara nelokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan dimana suami-isteri baru itu menentang secara uxorilokal di Komleks Perumahan dari keluarga si isteri (nyeburin).
5. SISTEM KEMASYARAKATAN
Disamping kelompok-kelompok kerabat patrilinear yang meningkat orang Bali berdasarkan atas prinsip keturunan, ada pula bentuk kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah, ialah desa.
Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut Klian Banjar (Kliang). Ia dipilih untuk suatu masa jabatan yang tertentu oleh warga Banjar.
Klen kecil dan klen besar, tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kekerabatannya yang lebih luas, ialah klen (tunggal dadia). Struktur dari tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali.
Disamping itu ada lagi Kelompok Kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa Kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil (pura) paibon atau panti.
Dalam kehidupan Kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, ialah Organisasi seko. Ada seka-seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenaan di desa, misalnya seka baris (perkumpulan tari baris), seka truna (perkumpulan para pemuda) seka daha (perkumpulan gadis-gadis). Seka dalam arti ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara, ialah seka-seka yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, seperti misalnya seka memula (perkumpulan menanam), seka manyi (perkumpulan menuai), seka gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain.
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat desa di Bali, ada beberapa macam cara dan sistem gotong royong, ialah antara individu dan individu, atau antara keluarga dan keluarga. Gotong royong serupa itu disebut nguopin dan meliputi Lapangan-lapangan aktivitas disawah (seperti menanam, menyiangi, panen dsb).
Sistem pelapisan di masyarakat Bali didasarkan atas keturunan-keturunan, karena itu tak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai Kelompok-kelompok Kerabat yang bersifat patrilinear.
Susunan tinggi-rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar itu digolongkan menjadi 3 golongan berdasarkan sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruh oleh sistem kasta yang termaktub dalam kitab-kitab suci agama hindu kuno, ialah sistem keempat kasta : Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra. Di Bali wangsa-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, ialah Brahmana, Satrya, Waisya dan Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama sebagai kesatuan disebut Triwangsa.
Gelar-gelar warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita, gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokordo, dan bagi warga klen-klen Waisya adalah Gusti.
6. AGAMA
Sebagin besar dari orang Bali menganut agama Hindu-Bali. Walaupun demikian, ada pula suatu golongan kecil orang-orang Bali yang menganut agama Islam, Kristen, dan Katolik.
Didalam kehidupan keagamannya, orang yang beragama hindu percaya akan adanya suatu Tuhan dalam bentuk Konsep Trimurti, Yang Esa, Trimurti ini mempunyai tiga wujud Wisnu yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa. Agama Hindu juga menganggap penting Konsep mengenai roh abadi (atman) adanya buah dari setiap perbuatan (Karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (punarbawa) dan Kebebasan jiwa dari Lingkaran Kelahiran kembali (moksa). Semua ajaran-ajaran itu termaktub dalam sekumpulan kitab-kitab suci yang bernama Weda.
Tempat melakukan ibadat agama di Bali pada umumnya disebut pura. Tempat ibadat ini berupa
sekomleks bangunan-bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum, artinya untuk semua golongan seperti Pura Besakih, yang ada hubungan dengan kelompok sosial setempat seperti Pura Desa (Kayangan Tiga), yang berhubungan dengan organisasi dan kumpulan-kumpulan khusus seperti Subak dan seka, kumpulan tari-tarian dan ada yang merupakan tempat pemujaan Leluhur dari klen-klen besar.
Di Bali dipakai dua macam tanggalan, yaitu tanggalan Hindu Bali dan tanggalan Jawa Bali. Sistem Kalender Hindu Bali bersdasarkan atas Purnama Tilem, dipakai pada perayaan pura-pura di berbagai daerah di Bali, tetapi di seluruh Bali di rayakan tahun baru saka yang jatuh pada tanggal 1 dari bulan Kesepuluh (kedasan) dan perayaan itu disebut Nyepi. Sehari sebelum hari tahun lama berakhir, pada kesembilan (tilem kesonga), diadakanlah upacara Karbon (pencaruan yang bersifat buta yaajna). Pada hari tahun barunya orang pantang melakukan api. Hari berikutnya, hari tahun baru kedua disebut ngembak geni. Orang boleh menyalakan api, tetapi masih pantang bekerja.
Sistem Tanggalan Jawa Bali terdiri dari 30 uku, masing-masing tujuh hari lamanya, sehingga jumlah seluruhnya adalah 210 hari raya Galungan dan Kuningan, yang jatuh pada hari Rabu dan Sabtu dari uku Galungan dan uku Kuningan.
Dilihat dari segi keseluruhannya di Bali terdapat lima macam upacara (panca yadna) yang masing-masing berdasarkan atas salah satu dari kedua sistem tanggalan tersebut diatas.
Pada umumnya apabila orang-orang menyelanggarakan upacara dan keagamaan yang terutama yang besar-besar, maka penuntun dan penyelesaian upacara itu, dilakukan oleh seorang pemimpin agama yang telah dilantik menjadi pendeta dan yang pada umumnya disebut Sulinggih. Mereka itu juga disebut dengan istilah-istilah khusus yang tergantung dari klen atau kasta mereka. Misalnya istilah pendenda adalah untuk pendeta dari kasta Brahmana, baik yang beraliran Siwa maupun Budha ; istilah resi adalah untuk pendeta dari kasta Satria dan sebagainya.
Kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan umum seperti Kuil Desa, Kuil Banjar, Kuil Subak dan sebagainya biasanya dipelihara oleh pejabat-pejabat agama yang disebut pemangku.
Makalah Tentang Kebudayaan Suku Bali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar