Contoh Cerpen Remaja Tentang Percintaan

Contoh Cerpen Remaja Tentang Percintaan

12 bulan 3 minggu 7 hari 18 jam lebih 37 detik yang lalu, pertama kali mataku melihatnya. Ia memasuki ruang kelas ini, dengan sikap cool yang ia tampakkan membuatku terpaku menatapnya. Ia tak menghiraukan orang di sekelilingnya yang tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tatapannya fokus namun cenderung semu. Aku tak dapat membaca ekspresi itu, ekspresi yang terlalu rumit untuk ku pahami. Ia terus berjalan, dalam bayanganku saat ini adalah adegan ‘slow motion’ dimana aku berperan sebagai seorang cewek yang terpukau akan pesona seorang cowok. Kemudian ia berdiri di hadapanku, ia tersenyum padaku…ohh sungguh manis sekali. Ctak!!! Sebuah pesawat dari kertas mendarat di keningku, sontak mengejutkanku dan adegan ‘slow motion’pun berhenti. Ternyata itu hanya lamunan indahku tentangnya, yang terjadi adalah dia lewat dihadapanku begitu saja, melewatiku yang sedang duduk dan memandangnya. Ia duduk di bangku samping kiri ku, jaraknya hanya satu langkah dengan bangku yang aku tempati.

“hai…” Aku mulai menyapa teman baruku itu. Ia hanya menatapku dengan tatapan semunya, “Aku Felly, kamu?” Tiba-tiba aku nervous,…

“Adit…” ia tersenyum dingin, ia mengulurkan  tangan untuk menjabat tanganku. Aku dan Adit berjabat tangan selama 7 detik lamanya, hatiku terasa meledak. “salam kenal” aku pun membalas senyumannya. Karena ini hari pertama semester baru dimulai, pelajaran tidak berjalan sesuai semestinya. Banyak jam kosong, sehingga sebagian besar siswa menghabiskan jam kosong mereka dengan bermain di dalam ruang kelas. ada yang bermain pesawat dari kertas, ada yang sedang bercerita tentang pengalaman-pengalaman aneh, ada yang sedang sibuk piket, ada pula yang sibuk dengan handphone dan laptop yang mereka bawa. Tapi ada satu orang yang tampak damai dan menyendiri di bangkunya, ya… Adit, tak seperti yang lainnya, ia hanya diam dengan headset di kedua telinganya, ia tidak bersuara hanya sedikit tertunduk membaca komik di atas mejanya.

Telah setengah tahun Adit menjadi teman kelasku, aku kini melihatnya jauh lebih baik dari Adit yang dulu. Adit memang pendiam, tapi bukan berarti dia tidak perhatian terhadap sekelilingnya. Dia cowok yang almost perfect, dia tinggi, handsome, putih dengan tatapan cool yang tak pernah lepas dari matanya. Aku akan berterus terang, bahwa aku menyukainya. Tapi, aku rasa aku tak pantas memiliki perasaan seperti ini terhadapnya. Dapat dekat dan akrab dengannya saja aku sudah bahagia, jadi aku tidak akan berharap lebih, karena hal itu akan menyakiti perasaanku sendiri. Ketika aku berikan senyuman, dia juga membalas senyuman itu, ketika sikapku sedikit berubah, dia selalu menanyakan mengapa, dan ketika aku membutuhkan bantuan dia selalu datang.

Mungkin dia melakukan itu karena etika yang selalu ia jaga, mungkinkah perasaan ku akan ia rasakan? Aku rasa tidak, ada kalanya aku merasa akan tetap mempertahankan perasaan ini namun ada kalanya keadaan membuat perasaanku mengatakan bahwa aku harus melepaskannya. Saat kisah-kisah indah bersamanya muncul dalam benakku,seakan kisah itu berkata bahwa Adit juga memiliki rasa yang sama sepertiku. Aku menyusuri koridor sekolah, hanya ada beberapa teman yang masih berlalu-lalang. Termasuk Adit, ia berdiri seolah menunggu seseorang.

“hai,Dit. Emm,tumben belum pulang?” aku mencoba bersikap biasa, sekuat tenaga aku menahan diriku agar tidak salah tingkah. “belum, tadi ke kantin dulu. Makan” ekspresinya datar.

“ohhmm…” aku mulai kehabisan kata-kata. Kemudian ia menatapku dan itu membuat jantungku berdebar kencang… “kamu sendiri? Kenapa belum pulang” sekilas aku menatapnya dan terpaku, “aku…belum…dijemput”.Dia lalu diam, hingga pada akhirnya “aku duluan ya Felly”, aku hanya menganggukkan kepala padanya. Itu adalah menit-menit terindahku, bisa bersamanya beberapa menit saja dapat membuatku bahagia.

Kisah lain ku dengan Adit. Ketika aku, Adit dan empat temanku akan menyaksikan pertandingan basket. Aku suka teman-temanku, karena mereka selalu give me more time to close with him, dan kesempatn yang mereka berikan agar aku dapat dekat dengannya selalu menjadi kisah-kisah  indah ku bersama Adit.
“Rik, aku ntar berangkat nonton basketnya bareng kamu ya?” pintaku pada Riko saat jam istirahat, Riko adalah teman sekelasku.

“yah, maaf banget Fel, ntar aku sama Diana. Kamu bareng sama Adit aja ya. Dia kan gak bonceng siapa-siapa tuh” jawaban dari Riko membuatku senang sekaligus gugup.
“aduh, gimana ya? gimana kalo Adit gak mau?” aku mulai bingung.
“dia bakalan mau kok. Ya udah ya Fel, kamu tanya sana sama si Adit. Aku mau ke kantin dulu.” Riko keluar dari kelas dan kini aku sendirian. Aku masih gugup bagaimana cara ku untuk bertanya pada Adit. “hanya bertanya, apa susahnya??! Tapi rasanya berat banget….” pikiranku kacau. Tak terasa bel pulang sekolah berdering, saat berada di parking area di belakang sekolah, aku memberanikan diri untuk berbicara pada Adit yang nampak telah siap untuk menaiki sepeda motornya.
“Adit,..” aku benar-benar gugup. “iya???” jawabannya masih sama, nadanya datar dan ekspresinya dingin. Aku sempat takut, apakah aku akan mendapat rejection?
“ aku boleh bareng kamu gak? Ke tempat tanding basket?” aku sempat menahan nafasku selama beberapa detik, hingga ia menjawab,
“ohh… iya.” Jawaban yang singkat tapi setidaknya itu membuatku lega dan bahagia. Akhirnya aku berangkat dan pulang bersamanya, bisa sedekat ini dengan Adit membuat perasaan ini perlahan semakin tumbuh. Terbersit dalam benakku untuk ingin memiliki dia, tapi segera ku buang pemikiran itu,  karena aku tahu hal itu akan membuatku terjerumus pada luka yang dalam. Perjalanan yang indah. Aku tak ingin perjalan ini berakhir, menikmati suasana jalan raya pada sore hari dengan Adit, dan mengobrolkan sesuatu menuju jalan pulang. Sungguh indah.

Kisah itu telah mengatakan padaku betapa aku sangat menyukainya. Tapi kisah itu mungkin tak cukup kuat untuk mengatakan pada Adit tentang kenyataan yang indah mengenai perasaanku. Kenangan itu nyatanya masih membekas dalam benakku, kini aku telah jauh dengannya. Jarak telah membuatku rindu dengan semua kisah-kisah itu. Ya, aku pindah sekolah ketika kenaikan kelas XI. Aku belum pernah menyampaikan perasaanku, begitu pula Adit, tapi selama ini kami masih saling mengabari keadaan satu sama lain.
Hari ini aku mengunjungi sekolah lamaku, sekolah baruku mengadakan libur khusus selama satu minggu. Aku berdiri di depan kelas lamaku. Tampak beberapa mata para junior memandangiku, kemudian aku keluar. Saat aku berada di koridor sekolah, aku melihat beberapa teman-teman lamaku. Saat itu sedang jam istirahat, mereka bilang mereka sangat merindukanku, akupun demikian. Setelah beberapa saat aku melepas rasa rindu bersama teman-temanku, kemudian aku berjalan menuju mading sekolah. Aku melihat sosok yang tak asing bagiku, mataku menelusuri sediap detail sudut ekspresinya.
“Adit…” tebak ku. Ia memandangku dan diam sejenak, “masih ingat aku nggak?” tambahku.
“Felly kan.” Ada simpul senyum di bibirnya.
“iya. Aku kira kamu udah lupa sama aku.” Ku lontarkan nada canda kepadanya.
“sempat pangling sih… Rambut kamu dulukan agak pendek. Sekarang panjang gitu” tatapan semu dan dinginnya membuat perasaan itu tumbuh lagi.
“bisa aja kamu Dit…” pembicaraan itu berakhir karena bel pelajaran telah berdering.
Dua hari telah berakhir, ini adalah hari ke-enam aku berlibur disini. Dan hari ini adalah hari Minggu, sebuah pesan singkat membuatku terpaku. Adit mengajakku jalan-jalan, tanpa pikir panjang, setelah aku bersiap-siap, aku  menuju ke tempat yang telah disepakati. Ternyata Adit telah menungguku disana, di taman bunga dekat dengan tempat pertandingan basket dulu. Entah mengapa kisah-kisah yang dulu terbayang kembali, saat-saat indah bersama Adit. Kami saling bercerita dan bercanda seakan saling melepas rasa rindu yang ada dalam diri kami berdua.
“besok aku pergi. Makasih ya untuk hari ini.” Ketika hendak pulang aku mengucapkan terimakasih padanya,
“iya… sama-sama.” Kemudian kami saling diam untuk beberapa saat. Hanya tatapan mata kami yang seakan berbicara bahwa perasaan itu datang lagi.
“oh iya Fel… aku suka sama kamu.” Kata-kata itu yang selalu aku nantikan dari seorang Adit, akhirnya aku mendapatkannya. “aku juga suka Dit sama kamu.” Senyum tulus ini ku berikan padanya.
“sebenernya dari dulu sih aku suka sama kamu Dit. Dulu aku juga berharap kamu suka sama aku, eh, taunya malah sekarang. Setelah jarak antara kita jauh banget, hhehe. Sayang  banget ya Dit. Ehh, tapi aku seneng. Akhirnya kamu tau kalo aku suka sama kamu dan kamu suka sama aku.” Entah mengapa kata-kata itu mengalir dengan lancar.
“aku juga Fel. Makasih atas perasaannya.” Senyuman Adit tulus walaupun tatapannya semu, aku tahu itu.
“iya sama-sama Dit. Dulu aku ppernah berpikir. Cukup tahu aku suka sama kamu dan kamu juga suka sama aku. Itu aja udah bikin aku seneng banget Dit.” Setelah kami saling meluapkan isi hati yang tak sempat tersampaikan, akhirnya kami pulang. Keesokan harinya aku bergegas untuk kembali ke tempat dimana sekolahku telah menunggu untuk memulai pelajaran. Adit mengantarku sampai di Air port,
“jangan lupa tetap hubungi aku ya Dit.”
“iya. Kamu juga ya Fel.”
Setelah itu hingga kini, aku belum melihat Adit lagi. Aku tidak dapat mengunjungi daerah lamaku karena kesibukanku. Tapi kami masih sering kirim mengirimii pesan singkat melalui handphone, hingga aku merasa bahwa kami masih dekat. Diantara kami tidak ada kata ‘jadian’ padahal dari dulu aku berharap dia menyatakan perasaannya sekaligus meminta padaku untuk menjadi pacarnya, namun itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah dia hanya menyatakan perasaannya tanpa memintaku utnuk menjadi orang teristimewa adalam hidpnya. Tapi tak apa, setidaknya di antara kami juga tidak ada kata ‘putus’ karena jika itu terjadi maka aku tidak akan pernah dapat memilikinya lagi. Biarkanlah waktu yang akan  menyatakanku untuk menjadi seseorang yang teristimewa bagi Adit.

Hati seseorang itu bagaikan kacang tanah, bagaimana bisa kita tahu ada biji di dalamnya  jika kita tidak membuka kulitnya. Jadi, bagaimana seseorang tahu kita menyukainya jika kita belum membuka hati kita dan menunjukkan padanya tentang isi hati kita. Dan baiknya ketika dia sudah tahu, itu sudah cukup untuk membuat kita lega tanpa harus berharap lebih akan mendapat jawaban YA atau TIDAK. Karena ketulusan itu tanpa imbalan.
-ninie-

0 komentar:

Popular Posts

Pengikut